[ABH] BAB. 19

220 19 16
                                    

BAB 19


Arifin pulang ke rumah dengan senang hati, sebab Alifia mau memaafkannya. Bahkan meski istrinya itu meminta untuk tak kembali ke rumah terlebih dahulu, Arifin mengerti bahwa Fia masih butuh waktu untuk menenangkan diri.

Tapi, Alifia mau diajak pergi berdua besok! Hehe.

"Besok pergi jalan, mau?"

"Boleh. Tapi kata Mama, jangan lama-lama. Soalnya abis itu mau ada acara."

Ah, Arifin penasaran. Apa Alifia selalu menurut begini jika diberi perintah? Terlihat lugu dan imut di waktu bersamaan. Arifin ingin melihat apakah Alifia bisa sekali saja membantah perintah Nina Arifin penasaran.

Sebelum itu, tentu saja Arifin sudah mengurus keperluan Rania sebentar. Bagaimanapun, sekian tahun bersama, tentu saja Arifin akan sulit terbiasa untuk tidak memperdulikan Rania.

Dia bertekad di dalam hati. Jika itu bukan situasi darurat, maka Arifin akan menjauh dari Rania.

Sama seperti apa yang Mirna katakan pagi ini. 'Pacar kamu ga sebaik itu. Coba kasih jarak, dan perhatikan dia dari jauh terlebih dahulu. Kamu pasti akan menemukan kurangnya dia ada dimana.'

Meskipun Arifin tak berpikir Rania adalah orang jahat, tetapi dia tetap menuruti perkataan Mirna. Sebab, Mirna tak mungkin dengan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.

"Apa pekerjaan saya hari ini?" Arifin duduk di kursi kerjanya, dengan tangan menaruh ponsel loudspeaker di atas meja. "Tolong kirim melalui email saja, ya, dokumen yang harus saya tandatangani atau sejenisnya."

Bahkan bekerja pun Arifin jadi cukup bersemangat. Dan semangatnya berbuah hasil tentu saja.

"Maaf, Pak. Dokumen yang perlu dicek dan ditandangani hari ini cukup banyak. Jadi ga bisa semuanya dikirim lewat email."

Arifin sontak mengerjap cukup cepat. "Apa maksud kamu?"

Orang di ujung lain menjelaskan sekali lagi dengan bahasa yang jauh lebih tertata, "Pak, dokumen penting hari ini ternyata banyak. Tetapi, ada kabar gembira. Kebanyakan dokumen yang baru datang itu asalnya dari perusahaan-perusahaan besar. Mereka meminta untuk bekerja sama."

Arifin terdiam cukup lama kali ini. "Menurut kamu, bisa selesai dikerjain kalau lembur sampai tengah malam ini atau tidak?"

"Tidak, Pak."

Brengsek. Ah, bagaimana ini? Arifin tak mungkin membatalkan janji pergi pertama mereka hanya karena tumpukan dokumen yang membosankan ini, 'kan?

Melihat jam yang menunjukkan sekitar setengah tujuh malam, Arifin menegakkannya punggungnya dan mulai membuat rencana cepat di dalam otak.

"Kabar anehnya. Pemilik dari perusahaan-perusahaan yang menjalin kerjasama dengan kita itu atas nama—"

"Tidak perlu sampai mencari tahu sejauh itu, jika memberi keuntungan maka terima saja."

"Ah. Baik, Pak."

Sedetik setelahnya, Arifin berkata. "Tak apa, kirim lewat E-mail mana yang bisa dikirim. Sementara sisanya, tolong kamu antar ke rumah saya."

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang