[ABH] BAB. 03

350 48 120
                                    

BAB 03
Alifia dan Papa.

Sudah dari lama Arifin berbohong seperti kemarin itu, setidaknya, lebih dari dua puluh kali selama dua bulan pernikahan mereka.

Tetapi, setiap ditanya, lagi-lagi jawaban yang sama. Bahkan manusia paling sabar, pun, juga akan merasa muak. Paling tidak, sedikit marah tentu saja.

Fia mencebik tanpa suara, netranya menelisik punggung Arifin yang kembali hilang di sebalik banyaknya tangga.

Mulut wanita itu bergumam, penuh ungkapan kesal serta cacian yang tanpa sadar turut meluncur bebas.

Mama Nina pernah berkata, "Seumur hidup itu lama, jadi usahakan untuk saling memahami bersama pasangan kamu kelak, ya, Kak."

Dan jelas teringat, kala itu Fia menjawab dengan bingung. "Kalau susah??"

"Pasti bisa! Yang terpenting itu komunikasi, Sayang."

Dan pertanyaannya, bagaimana cara meluruskan segalanya jika 'pasangan' Fia saja seperti ini? Mengesalkan!

Alifia berbalik, mencuci piring yang barusan digunakan Arifin. "Mana ga tahu diri lagi. Udah dimasakin juga."

Alifia dan segala gerutuannya. Wanita itu segera mengeringkan tangan kala selesai, dirinya mengambil tisu kertas, lalu membersihkan sisa-sisa kegiatan memasak barusan.

"Emang... Cewenya itu pernah se-effort ini?" Fia mendelik, jadi kesal sendiri dibuatnya. "Tidur ga cukup, jadi kebangun terus cuman karena dia merengek haus, panas, dan yang paling parah, merengek karena hidungnya ga bisa napas gara-gara flu!"

Khalid tak tahu diri Arifin Ananda. Bagai kacang lupa kulitnya. Sudah tak mengucapkan terimakasih, marah-marah lagi.

"Hmph!" Walau sebetulnya, Benar kata Arifin. Fia tahu. Tentang lelaki itu yang tak pulang sebelum tengah malam atau subuh. Tentang dirinya yang tiba-tiba pergi padahal hari masih gelap.

Dan... Tentang leher Arifin yang penuh bercak cinta, tentang kerah kemejanya yang diwarnai beragam jiplakan lipstik merona.

Alifia tak perlu bertanya. Bahkan, dengan telinga tersumbat dan mata tertutup pun dirinya mampu menganalisa hingga akhir.

Mengenai Arifin hujan-hujan tengah malam, Fia juga tahu.

Apalagi... Malam sebelumnya, Arifin tak sempat keluar 'tuk bertemu wanita itu.

Tentu saja dia akan melampiaskannya di hari berikut. Dia pasti memerintahkan Arifin melakukan sesuatu yang di luar perkiraan lagi.

Mengingat sosok wanita tua satu itu, Fia dibuat merasa mual tiba-tiba. Walau belum pernah bertemu tatap muka, Fia sudah bisa membayangkan bagaimana sikapnya saat di dunia nyata.

"Udah dewasa, tapi manja ga ketolongan," cerca Fia berbisik. "Apa-apa telepon Arifin, dikit-dikit ngeluh ini itu. Kaya yang ga bisa berjuang sendiri aja."

Fia menghempaskan kertas tisu yang teremat ke dalam tong sampah. Emosinya kini mulai menggebu-gebu. "Mana manjanya sama suami orang lagi!"

Menyebalkan!

Sebelum mulai menerka yang tidak-tidak. Alifia akan perjelas sekali lagi.

Dia tak cemburu. Alifia hanya, sedikit malas, sedikit muak, dan sedikit geli. Atau, malah bisa dibilang, secuil rasa jijik.

Benar kata Dina. Memang, ketampanannya terasa sia-sia. Hobi Arifin berbanding terbalik dengan wajahnya.

Akhir-akhir ini seringkali bermunculan. Wajah bak malaikat, sifat seperti jiplakan setan.

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang