[ABH] BAB. 10

295 28 26
                                    

BAB 10
TITIK LEMAH ARIFIN.


Hingga malam berlalu, bagi Alifia, Arifin masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Mungkin memang berniat pindah sekalian? Ya tak apa-apa juga, sih. Toh, juga, Fia sudah sedikit muak melihatnya.

Kali ini, Fia sedang duduk santai di sofa balkon kamar. Dari sana, dirinya menikmati angin malam yang dingin dengan secangkir air mineral hangat.

Netra cantik itu bergulir, mengamati bintang yang bertaburan di angkasa. Terkadang, dirinya bertanya-tanya. Apakah perkataan tentang sosok yang meninggal akan menjadi bintang itu benar?

Tapi terserahlah.

Toh, juga, dirinya tetap akan bicara pada angin malam. Berharap semoga suaranya dapat didengar dari tempat Papa dan Abangnya berada.

Fia menutupi tubuhnya dengan selimut, tiduran nyaman di atas sofa empuk. Matanya melamun, mengamati langit.

"Maafin Fia," ungkapnya membuka pembicaraan sendiri. "Gara-gara Fia, Abang dan Papa harus pergi sejauh sekarang."

Sungguh, diantara banyaknya hal di dunia. Yang paling menyakitkan adalah ketika kita menyadari, fakta kita tak lagi bisa bertemu dengan sosok yang pernah ada. Alamnya seakan telah berbeda. Tidak lagi di tempat yang sama.

Rindu paling menyakitkan, ialah kala merindukan sosok yang telah tiada.

Asik merenung. Tiba-tiba, dirinya terduduk. Melirik balkon kamar Arifin di sudut lain rumah. Telinga Fia bergerak ringan, menguping. Lampu kamar sebelah yang sebelum itu mati kini hidup terang-benderang. Tak lama, bayangan seorang lelaki terlihat bergerak di jendela tertutup.

Saat akan mengabaikan, tiba-tiba satu bayangan lagi turut mengikutsertakan diri. Keduanya tampak berbincang, lalu, bayangan di lantai tampak mengecil. Pertanda, objek penghambat cahaya itu kian menjauhi sumbernya. Alias, mendekat ke balkon. Dan menjauhi sinar lampu.

Balkon kamar di rumah itu hanya dua, satu di kamar Arifin ujung lain, dan satu di kamar Alifia ujung sini. Tentu Fia bisa melihat ke ujung sana dengan sangat jelas.

Fia melotot, entah karena alasan apa dirinya dengan cepat berdiri dan memasuki kamar sekaligus menutup pintu balkon dengan ringan, hingga menyisakan sedikit celah untuk mengintip dan mendengarkan suara.

"Emang istri kamu ga akan marah aku main ke sini?"

"... Ini rumah aku, Ia."

"Iya, sih."

Fia mendelik, sayang sekali sudut matanya masih tak mampu menangkap apa yang keduanya lakukan di ujung sana. Kini, saat kepanikan mereda, barulah Fia bisa memproses perasaan kesalnya yang tiba-tiba.

Ini rumah mereka. Ibaratnya, bagai kerajaan yang menjadikan Alifia sebagai Ratunya. Dan, beraninya Arifin membawa selir jenis ular itu ke daerah kekuasaannya?

"Kurang ajar. Bisa-bisanya, bawa selingkuhan ke rumah?" bisiknya rendah.

Kaki Fia hampir mati rasa karena menahan untuk terus berdiri di tempat yang sama. Lagi-lagi, saat akan berbalik dan menyerah menguping, tiba-tiba dirinya mendengar suara aneh. Dan itu sukses mengunggah rasa penasaran Fia ke titik tertinggi.

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang