[ABH] BAB. 08

292 37 52
                                    

BAB 08
Pertengkaran.

"Bercumbu dengan keturunan seorang pembunuh. Gimana rasanya?"
.
.
.
"Apa maksud kamu?"

Sindiran lainnya Arifin mungkin sudah mulai terbiasa mendengar, tetapi satu panggilan di kalimat akhir Fia membuatnya sukses merasa heran. "Jangan sembarangan memberi nama panggilan untuk orang lain, terlebih jika semua itu hanya karena rasa cemburu. Kamu cemburu saya lebih mementingkan Rania ketimbang kamu? Kamu fitnah dia— ah, bukan. Lebih tepat jika dibilang, kamu fitnah garis keturunannya."

Kata 'fitnah' sukses membuat Fia tertawa. Sedetik berlalu, kian cepat frekuensi tawa yang muncul. Kepalanya menggeleng kencang. Reaksinya membuat Arifin kian mengernyit.

"Alifia—"

"Arifin, Arifin," panggilnya dengan tawa mulai terhenti. Tangan Fia naik, menghapus air mata yang sedikit keluar akibat tawa berlebih. "Dengar. Aku bukanlah tipe wanita yang suka buat onar jika sedang cemburu."

Diliriknya ekspresi Arifin yang dingin. Alifia menghentikan tawanya. "Terlebih, aku juga ga akan cemburu. Apalagi, pada wanita murahan kaya dia," lanjutnya. "Jalang, haus belaian."

"Apa?" Ekspresi Arifin kian datar, bagai turun ke titik beku. "Kamu gila? Baru sekarang saya tau, ternyata caramu bicara serendah ini?" sarkasnya.

"Ya. Dia Murahan, pembunuh, bahkan..." Alifia mengikis jarak mereka berdua. Bersitatap dengan netra Arifin, mereka dipenuhi emosi membara. "Jalang?"

Alifia benar-benar mengabaikan sarkasan yang Arifin selipkan di akhir kalimatnya. Berpura-pura tak mendengar apa pun.

Sekali terdengar, Arifin mencoba maklum. Kali kedua? Jangan harapkan Arifin akan menebalkan kesabarannya.

... Sesuai dugaan. Sedetik setelah ucapan Alifia terlontar, suara pertemuan kulit pipi dan tangan terdengar nyaring. Telinga Fia dibuat berdengung, kepalanya yang tertoleh ke kanan memperlihatkan ekspresi sedikit terkejut. Tangannya naik, meraba pipi yang ditampar Arifin, suaminya tercinta.

Alifia terdiam, lalu tawa yang tak dimengerti keluar dari sudut bibirnya. Seiring bersama darah yang mulai muncul di sana. "Apa? Marah? Hanya segini padahal."

"Jangan sekali-kali kamu bicara seperti itu tentang Rania," dengan gigi terkatup Arifin memberi utas kalimat. Matanya melirik Fia merendahkan. "Saya jadi mengerti. Kamu ternyata memang tak pantas diberi hati. Sosok sepertimu ini... Tak layak dicintai."

Alifia tak bergerak. Hanya menunggu Arifin menyelesaikan kalimatnya. Mata Fia tampak berbeda, 180° terlihat lebih dingin dan angkuh. Meski, hatinya bergetar sedih, netranya terus saja berkhianat. Kedua netra cokelat itu kini penuh akan ambisi dan dendam.

Dan itu... Membuat Arifin entah mengapa jadi memiliki perasaan aneh dalam relung hatinya. Seakan-akan, sekumpulan balon yang dirinya genggam erat-erat kini perlahan menemukan jalan tuk terbang bebas.

Arifin paling benci, pada sesuatu yang tak bisa dirinya kendalikan. Termasuk, perasaan.

Dalam sekian detik berlalu perasaanya segera ia taruh di belakang, mengedepankan logika. Kecerdasan emosional menjadi bakat tersendiri di diri Arifin.

"Jangan pernah mengganggu Rania. Sudah cukup rasanya kamu melukai kami dengan menjadi orang tengah tanpa aba-aba seperti dulu," tutur Arifin tanpa nada.

Ucapannya mengingatkan Fia pada beberapa waktu sebelum pernikahan mereka.

Kala itu, dirinya memergoki calon suaminya tengah saling berpelukan dengan seorang wanita cantik. Wanita itu terlihat menangis, air matanya seakan tak bisa berhenti mengalir.

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang