[ABH] BAB. 23

206 16 14
                                    

BAB 23
Hak Arifin, dan Caranya yang Salah.

Setelah kejadian hari itu, Alifia serta Arifin bagai sepakat untuk tak membahasnya lagi. Lagipula, mereka tak melakukan sesuatu yang lebih dari itu, kok.

Akan tetapi, kejadian hari itu berhasil membuat Arifin mengambil keputusan cepat. Yakni, memutuskan agar mereka tidur sekamar. Bukannya apa-apa, itu semua dilakukan atas dasar alasan yang jelas.

Karena mereka berniat saling mendekatkan diri, maka salah satu caranya adalah dengan mulai membiasakan diri terhadap masing-masing.

Biasanya Arifin akan bangun lebih dahulu daripada Alifia, sama seperti hari ini. Tetapi, bedanya, pagi ini Arifin tidak berada di kasur menatap wajah Alifia hingga wanita itu terbangun. Melainkan, lelaki itu tengah berdiri kaku di depan salah satu figura foto besar yang terletak di ruang tamu.

Itu lah pemandangan pertama yang Alifia temui kala dia melangkah menuruni tangga rumah. Alisnya sedikit mengerut, wanita itu mendekat dan berdiri tepat di samping tubuh Arifin.

Bahkan setelah Fia turut berdiri di sampingnya, tak membuat atensi Arifin beralih. Rahangnya yang tegas kini terlihat mengetat.

"Mas, kangen Mama Papa?"

Arifin menghela napas panjang. Ditekannya bibir ke dalam, sehingga tak lagi menampakkan bahwa benda itu sudah berkali-kali terbuka dan tertutup, pertanda Arifin ingin bicara tetapi terus urung.

Setelah lama menenangkan diri, akhirnya Arifin membuka mulutnya mantap. "Hari ini tepat 15 tahun mereka pergi, Sayang," getir Arifin mencoba normalkan suaranya yang sedikit serak. "Bahkan aku masih ingat bagaimana aroma-aroma yang kala itu tercium pekat."


Alifia tak tahu itu. Tak ada seorang pun yang memberi tahu dirinya tentang tanggal kematian Mama Papa Arifin. Jadi, dia terdiam cukup lama sembari ikut melamun di depan foto tiga orang itu. Ada kedua mertuanya, lalu ada Arifin remaja yang tengah berdiri ditengah-tengah mereka dengan senyum manis bertengger di sudut bibirnya.

"Mau berkunjung ke makam Mama Papa?" tawar Alifia prihatin. Dia juga ingin mendoakan kedua tetua itu di hari yang penting ini. "Ngomong-ngomong, aku belum pernah kesana, 'kan?"

Jawaban Arifin tak sesuai dengan apa yang Alifia pikir akan terjadi. Lelaki itu merangkul bahu Alifia, lalu dikecupnya puncak kepala istrinya itu. "Lain waktu, ya?" bujuknya.

Meski penasaran, Alifia masih mengangguk patuh. Dia menyenderkan kepala di bahu Arifin. Kini mereka berdua sama-sama menatap foto besar itu. Seakan-akan ingin mencari celah yang bisa dikomentari dari sana.

Tak ada yang berbicara di antara mereka, membuat suasana terasa begitu hening. Kecuali detak jam dan helaan napas yang saling bertaut.

Setelah berlalu belasan menit, akhirnya Arifin menarik Alifia untuk menghadap ke tubuhnya. Kini, dia ingin berbicara dengan serius. "Fia," panggilnya dengan tangan menangkup wajah Alifia. "Ingat apa yang aku bilang setelah ini baik-baik. Okey?"

Alifia tanpa ragu mengangguk pasti. Membuat sudut bibir Arifin jadi tertarik ke samping, dia tersenyum sangat tipis. "Malam ini, tidur di kamar yang sebelumnya kamu huni. Jangan masuk ke kamarku. Pokoknya apapun yang terjadi, jangan masuk ke sana."

ARIFIN || BAD HUSBAND [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang