Part 26: Decision

553 70 9
                                        

R E U N I O N

————————

Di hadapan mamahnya, Bian duduk bersebelahan dengan Januar. Keduanya masih belum berani membuka suara atau menatap Fatma. Situasi ini begitu canggung sekaligus memalukan untuk mereka.

Sementara itu, Fatma yang semula memandang Bian kini beralih pada lelaki di sebelahnya. Ia memandang Januar dengan seksama hingga Fatma bertanya, "Bian, ini siapa?"

Tubuh Januar makin membeku menyadari dirinya belum memperkenalkan diri sama sekali. Ia pun lantas beranjak berdiri, membungkuk dengan sopan dan mengulurkan jabatan tangannya pada wanita di hadapannya.

"Kenalkan tante, saya Januar."

Fatma pun dengan ramah menyambut jabatan tangan Januar. "Saya Fatma," ucapnya kemudian melepaskan jabatan tangan dan Januar kembali duduk di posisi yang semula.

"Jadi ... Nak Januar ini, pacarnya Bian?"

Pertanyaan itu membuat Januar terdiam. Ia melirik Bian melalui ekor matanya dan tanpa diduga, Bian yang menjawab pertanyaan tersebut.

"Iya mah, Januar pacar aku." Bian melirik Januar sekilas kemudian menggenggam tangan lelaki itu. Hal tersebut berhasil membuat Januar mematung terkejut.

Perlahan sudut bibir Fatma terangkat. "Kok kamu nggak pernah cerita sama mamah? Kan mamah juga mau kenal sama Januar ...."

"Aku sama Januar belum lama pacaran, mah. Kita juga masih sama-sama buat saling mengenal."

Senyum Fatma semakin melebar, ia hanya mengangguk-angguk samar. "Yaudah, kalo gitu mamah pulang dulu deh."

"Makanannya gimana?"

"Udah buat kamu sama Januar aja. Tadi papah kamu juga telfon katanya minta dibeliin obat sakit gigi." Fatma seraya bersiap-siap.

Meski sedikit panik, Bian tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan mamahnya untuk pergi. Ia dan Januar pun turut beranjak berdiri saat Fatma bangun dari duduknya.

"Januar, tante duluan ya? Nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi."

Januar mengangguk dengan cepat, ia pun hendak mengantarkan Fatma sampai bawah namun saat di ambang pintu Fatma menahan langkahnya.

"Udah, nggak apa-apa tante sendiri aja."

"Tapi tante—"

"Nggak apa-apa." Fatma kembali tersenyum ramah. Ia beralih melirik Bian yang berada di belakang Januar. Tatapannya penuh dengan arti, seakan berkata, kamu punya hutang penjelasan sama mamah.

Bian hanya tersenyum canggung. "Hati-hati ya mah, nanti kalo udah sampai rumah kabarin aku."

Fatma hanya tersenyum. "Sampai ketemu lagi ya, Januar."

"Iya tante ... hati-hati ...."

Begitu Fatma sudah pergi dan Bian menutup pintu, akhirnya mereka berdua bisa mengembuskan napas lega. Mereka kemudian saling menatap sejenak sampai akhirnya tertawa bersamaan, mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.

***

Jethro menatap Addison dengan pandangan pasrah. Ia tidak tahu apa yang membuat Addison ragu kepadanya padahal mereka berdua saling mencintai. Bahkan ketika Addison memutuskannya, Jethro sama sekali tidak membencinya, ia justru berusaha mencari tahu apa yang salah dengan dirinya sehingga membuat Addison sampai memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.

Jethro yakin, bukan Januar alasannya dan dia percaya bahwa Addison pasti tak memiliki perasaan apapun kepada adiknya itu. Namun kali ini, ketika Jethro mengajak Addison untuk menikah, perempuan itu justru tak memberikan jawaban apa-apa kepadanya. Jethro tidak tahu lagi harus bagaimana, namun ia sangat ingin mempertahankan Addison di hidupnya.

"At least kasih aku alasan, kenapa kita nggak bisa sama-sama lagi?"

"Why not? Nggak semua orang yang saling mencintai itu harus bersama 'kan?"

Jawaban Addison justru membuat Jethro mengerutkan dahi dalam, ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Addison pikirkan.

"Why you make it's hard, Add?" Jethro mulai kesal namun ia berusaha untuk mengulur kesabarannya. Jethro menghirup napas dan meraih tangan Addison, memandangnya dengan tatapan lembut. "Tell me, ada apa? Pasti ada sesuatu yang terjadi 'kan sama kamu?"

Addison membuang pandangannya, ia sejenak hanya terdiam lalu menelan salivanya. Ia tak memiliki keberanian untuk menatap Jethro. "Aku ... memutuskan buat terima perjodohan itu."

Sontak Jethro membeku, tatapannya menjadi nanar dan perlahan melepaskan genggaman tangannya dari Addison. Ia berusaha mencerna perkataan Addison yang berhasil membuat lidahnya kelu.

"M-maksud kamu ... sama Januar?"

Addison hanya bergeming, ia perlahan menatap Jethro memberikan jawabannya melalui sorot matanya yang dingin itu. Hal itu nampaknya berhasil membuat hati Jethro terluka, dilihat dari tatapannya yang mendadak kosong dan hampa.

***

Langkah kaki Januar memasuki kediamannya dengan senyum tipis di wajah, masih membayangkan kejadian konyol beberapa saat lalu. Syukurnya reaksi ibu Bian ternyata tidak seperti yang Januar bayangkan, dari sikapnya, Fatma memiliki kesan yang baik dan ramah. Artinya, mungkin saja tidak akan terjadi masalah apapun dengan hubungannya dan Bian.

Senyum Januar perlahan luntur kala melihat Jethro yang tengah duduk dengan botol whisky di hadapannya. Pria itu terlihat kacau, ia menatap kosong ke depan sampai akhirnya perlahan mengalihkan perhatian pada Januar.

"Lo baik-baik aja?"

Jethro terdiam cukup lama, ia pun sedikit menyunggingkan senyumnya dengan terpaksa. "I'm good."

Tidak seperti yang dikatakannya, Januar justru merasa yakin sepertinya Jethro sedang tidak baik-baik saja. Kejadian usai makan siang tadi pun langsung muncul di kepala Januar. Terselip rasa bersalah di batinnya.

Januar menundukkan pandangannya. "Soal kejadian siang tadi ...." Ia kembali menatap Jethro. "Gue minta maaf. Gue terlalu emosional dan udah kasar sama lo."

Jethro memaksakan senyum tipisnya. "That's okay."

Januar pun perlahan membuang napas lega. "Kalo gitu ... gue ke kamar dulu."

Jethro hanya menjawabnya melalui anggukan samar, menatap kepergian Januar sampai tak terlihat dari pandangannya. Setelah itu wajahnya kembali menjadi datar. Ia mengambil gelas dan meneguk whisky-nya lagi.

ReunionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang