R E U N I O N
————————
" ... apakah perempuan mandiri seperti kamu siap mengorbankan apa yang kamu miliki saat ini, jika kamu menikah dengan Januar nanti?"
"Mungkin ini akan terdengar sedikit sombong. Namun, kehidupan orang-orang seperti kami tentunya berbeda, Fabiane. Kamu akan bertemu dengan banyak hal yang tidak kamu sukai, hidup kamu juga akan berubah, dan orang-orang yang saat ini dekat dengan kamu, mungkin tidak bisa kamu temui lagi dengan sesuka hati. Ada banyak hal yang harus kamu korbankan."
Dada Bian terasa tertohok mendengar ungkapan Liliana yang seolah menjadi peringatan untuknya menjalin hubungan Januar, bahkan sebelum Bian melakukan apa-apa. Perkataannya bagai lampu merah untuk Bian yang mana artinya Bian harus berhenti atau jika tidak, maka Bian akan menghancurkan dirinya lagi.
Namun, bukankah masih terlalu jauh untuk membahas itu semua? Apalagi soal pernikahan yang mana Bian saja masih belum sembuh sepenuhnya dari trauma yang ia alami dulu. Ketakutan akan ditinggalkan atau dikhianati lagi menjadi momok yang menakutkan setiap kali Bian memikirkan pernikahan.
Bian sedikit menyunggingkan senyum dan seraya menatap Liliana ia dengan tenang berkata, "Tante, kalau itu yang tante khawatirkan, tante tenang aja ... saya nggak pernah berpikir untuk menikahi Januar. Karena sejujurnya, saya masih belum bisa sepenuhnya percaya kepada laki-laki. Kalau pun Januar menginginkan pernikahan, maka dia harus berhasil membuat saya yakin terlebih dahulu. Sebab saya pun merupakan putri berharga bagi orang tua saya tante, dan saya layak mendapatkan yang terbaik untuk diri saya. Saya tidak mau pilihan saya mengecewakan kedua orang tua saya."
Tanpa diduga, perkataan Bian justru berhasil membuat Liliana mematung dan tak berkedip menatapnya. Lehernya bahkan seperti kaku seolah menahan emosi yang tak bisa Bian gambarkan. Walau demikian, Liliana dengan cepat kembali bersikap tenang dengan melemparkan senyum tipis dengan tatapan nanar yang penuh arti.
***
Bian mengaduk teh jahe dalam diam seraya mengingat lagi bagaimana pertemuan dirinya dengan Liliana. Bian jadi memikirkan, apakah penyebab perkataan Januar semalam itu berhubungan dengan ucapannya kepada Liliana? Mungkinkah Liliana menceritakan pertemuan itu pada Januar?
Bian menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menepis pikiran itu agar tidak menjadi bola liar di kepalanya. Apapun yang Liliana katakan kepada Januar, Bian tidak mau memikirkannya hingga menjadi masalah.
Saat air sudah mendidih, Bian mematikan kompor dan menuangkan air teh ke dalam cangkir. Aroma jahe bercampur teh itu menguar di sekitar dapur membuat siapapun yang menghirupnya merasa tenang. Bian mengambil cangkir tersebut hendak membawanya ke kamar, namun baru membalikan tubuhnya, ia mengurungkan langkah saat melihat Januar yang tengah berdiri menatapnya entah sejak kapan. Untuk sesaat mereka saling bertatapan sampai Januar mengambil langkah lebih dulu menghampiri Bian, aroma mint pasta gigi tercium begitu Januar berdiri di hadapan Bian.
Bian memberikan cangkir tersebut dan mengisyaratkan Januar agar meminumnya. Tanpa berbicara Januar menerima lalu menyeruputnya tanpa melepaskan pandangannya dari Bian.
Oh tatapan tajam itu terasa begitu menusuk sekaligus menggoda Bian.
Januar meletakkan cangkir di atas meja pantry, ia terdiam sejenak lalu kembali memusatkan tatapannya pada iris mata Bian. Telapak tangannya menyentuh pipi Bian lalu ia mendaratkan ciuman di bibir ranum kekasihnya cukup lama membuat Bian tak berkutik, hanya memejamkan mata dan meremas kemeja Januar.
Januar kembali menatap Bian, ibu jarinya bergerak untuk mengusap lembut pipi Bian. "Harusnya semalem aku nggak dateng ke sini dalam keadaan mabuk." Sorot mata Januar terlihat menyesal mengingat memori semalam yang tak bisa sepenuhnya ia ingat. "Apakah ada kata-kata aku yang nyakitin kamu?"
Perasaan Bian tercubit mendengarnya, justru sepertinya Bian yang secara tidak sadar sudah menyakiti Januar. Sikapnya yang ambigu serta perkatannya yang kejam pasti membuat Januar lelah. Hanya saja karena lelaki itu begitu mencintainya, ia sampai-sampai buta akan semua itu dan mengikuti apapun kemauan Bian.
Bian pun menggeleng seraya melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia merasa bersalah atas sikapnya akhir-akhir ini kepada Januar, ditambah lagi lelaki itu pasti tengah berusaha mengurus masalah perjodohannya. Belum lagi menghadapi kedua orang tuanya. Pikiran Januar pasti sedang runyam dan alih-alih menenangkan Januar, Bian malah menambah masalah.
Januar mengangguk-angguk samar, ada kelegaan di wajahnya. Ia pun kembali menatap Bian dengan lekat dan berucap, "Ini keputusan aku Bian, aku tetap akan memilih kamu apapun yang terjadi. Aku nggak peduli hal lain selain kamu. Satu hal yang bisa membuat aku berhenti mencintai kamu, yaitu kamu. Aku hanya akan berhenti ketika kamu meminta aku buat berhenti, karena selain itu, aku nggak tau gimana caranya untuk berhenti mencintai kamu."
Bukan hanya hati Bian yang kini terasa perih, namun juga matanya yang sudah kabur karena air mata. Bian menelan saliva sekuat tenaga, berusaha untuk tidak meneteskan air mata. Akhirnya Bian mengalihkan tatapannya ke arah lain, ia menggigit bibirnya berusaha agar emosinya tidak tumpah ruah.
"Jadi aku mohon sama kamu ...." Januar berucap lirih, kedua tangannya menggenggam tangan Bian seraya menunduk. "Seberat apapun masalah kita nanti, jangan pernah meminta aku buat pergi. Because I can't imagine a world without you."
Bian tidak tahan lagi, dengan satu kedipan air matanya mengalir begitu saja. Ia kembali menatap Januar dan langsung mendekapnya erat-erat. Dada Bian terasa begitu penuh, hatinya sangat campur aduk. Rasa haru, sedih, sekaligus rasa bersalah bercampur menjadi satu. Untuk pertama kalinya Bian merasa dicintai sebesar dan setulus ini oleh seseorang.
Mendengar isakan Bian turut membuat Januar sesak dan berkaca-kaca. Ia pun merasa frustasi dengan situasinya. Cinta Januar kepada Bian sudah di tahap cinta yang putus asa. Sampai-sampai Januar tidak bisa membayangkan masa depannya akan seperti apa jika di dalamnya tidak ada Bian.
***
Di sofa ruang tengah Bian dan Januar duduk bersebelahan dengan jari-jari tangan mereka yang saling bertaut. Keduanya seolah enggan untuk melepaskan, sudah hampir sepuluh menit mereka hanya diam seperti itu tanpa berbicara apapun usai pembicaraan mereka yang menguras emosi dan perasaan. Keduanya seolah tengah memulihkan energi satu sama lain. Hingga akhirnya Bian membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Soal kejadian malam itu, waktu kamu liat aku dan Yuska di kamar hotel, itu nggak ada maksud apapun selain Yuska yang mau anterin aku karena aku udah mabuk. Well, aku emang salah dan teledor. Siapapun pasti akan salah paham karena kebiasaan buruk aku. Tapi percaya sama aku Januar, nggak ada apapun yang terjadi antara aku dan Yuska."
Perlahan Januar tersenyum, ia mengangguk seraya menatap Bian. "I know."
"Kamu nggak kecewa sama aku kan?"
Januar menggeleng. "Aku lebih takut kamu kenapa-napa."
Bian tidak bisa menahan senyumannya. Ia pun lantas mencium bibir Januar. Perasaannya lega sebab Januar tidak salah paham kepadanya. Tidak seperti mantan kekasih Bian yang sebelumnya, yang selalu mengutamakan ego dan amarahnya.
Bian kemudian beranjak berdiri. "Aku mandi dulu, setelah itu kita sarapan di luar. Aku lagi pengen makan beef toast."
Seraya tersenyum Januar mengangguk dan membiarkan Bian pergi menuju kamarnya. Ia menatap sampai wanita itu menghilang dari pandangannya.
***
Di dalam kamar mandi Bian menarik ujung kaosnya ke atas, balum sampai melewati kepala, Bian mendengar pintu kamar mandinya di ketuk, lalu muncul Januar dari balik sana.
"Can I join?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Reunion
Romance18+ Ditengah krisis kepercayaan akan cinta dan trauma yang Bian alami, Januar-seseorang dari masa lalu Bian-hadir menawarkan kisah cinta indah nan romantis. *** Pertemuan Fabiane Alexandra dan Januar Liem di acara reuni SMP membuat keduanya terlibat...