01 : DARK

996 135 28
                                    

Di dalam mobil, Anaies tampak diam seraya memperhatikan jalanan melaui kaca jendela. Delta yang duduk di kursi pengemudi sesekali melirik nonanya. Menyadari lirikan dari sang pengawal, Anaies menoleh ke arah Delta.

"Ada apa?" tanyanya.

"Tidak, nona. Nona Anaies ingin langsung pulang ke rumah atau mampir ke toko buku seperti biasa?"

Anaies berpikir sejenak. Pikirannya saat ini sedang kalut karena bayang-bayang masa kecilnya kembali setelah pertemuannya dengan sang sepupu di kampusnya tadi.

"Aku ingin ke suatu tempat...tapi apa boleh? aku belum meminta ijin kakek, aku takut beliau khawatir."

"Saya pengawal nona. Tenang saja, saya akan bicarakan kepada tuan nanti."

Anaies menoleh ke arah Delta, tersenyum manis. Di sisi lain, Delta yang diberi senyuman, tampak sedikit terkejut. Pasalnya, baru kali ini perasaan aneh menjalar dalam relung dadanya.

"Oh shit! fokus, Delta!" rutuknya dalam hati seraya memfokuskan pandangannya ke arah depan.

"Delta,"

Jantung Delta semakin berdegup kencang. Lelaki itu melirik Anaies, "Ya, nona?" tanyanya dengan hati yang terasa gugup.

Anaies memperhatikan jalanan kembali melalui kaca jendela. Jemari lentiknya memainkan kukunya sendiri.

"Tetaplah bersamaku sebagai pengawalku," suara gadis itu begitu lirih.

Anaies mengatakan itu seraya mengingat pertemuannya dengan 'dia' hari ini. Anaies merasakan takut luar biasa, ia sangat takut dan cemas luar biasa karena momen pertemuan itu mengupas kembali memori kelam masa kecilnya.

"lindungi aku darinya, Delta." sambung Anaies yang saat ini sudah melihat wajah pengawalnya.

Mobil yang dikendarai oleh Delta berhenti tiba-tiba di tepi jalan. Delta menoleh dan hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh puluhan pisau hingga terasa sangat sakit. Raut wajah Anaies saat ini membuat tangan kiri Delta refleks menyentuh pipi kanan Anaies dan mengusapnya lembut.

"Saya selalu bersama nona sampai saya mati. Tolong jangan menangis!"

Ibu jari Delta menghapus air mata Anaies yang merembet turun membasahi pipinya. Delta melihat tubuh nonanya bergetar. Dia tahu dengan pasti apa penyebab nonanya seperti ini.

"Mengapa 'dia' harus menemuiku setelah sekian lama, Delta?"

Anaies semakin bergetar dan air matanya semakin deras. Anaies mencengkram lengan kiri Delta saat telapak tangan lelaki itu masih berada di pipinya.

"Aku takut.." suara gadis itu semakin lirih.

"Damn! bajingan itu membuatmu seperti ini lagi, nona!"

Delta tidak bisa mengatakan itu secara langsung. Dia bingung harus melakukan apa namun setelah beberapa detik, Delta meraih bahu Anaies dan merengkuh tubuh mungil gadis itu dengan lembut.

"Nona, mohon maafkan kelancangan saya." ucap Delta seraya memberikan Anaies kekuatan dengan cara mengusap surai panjang milik gadis itu.

Anaies yang diperlakukan begitu lembut oleh Delta langsung menangis dengan keras. Anaies mencengkram kencang baju belakang Delta seraya terus menangis.

Ingatannya berputar ke 'masa itu' dimana tidak ada satupun orang di keluarganya yang menolongnya kecuali sang kakek. Ia dapat mengingat kembali tatapan jijik, marah, malu, dan lainnya ditujukan oleh orang tua, nenek, om-tante bahkan para sepupunya kepadanya.

Emosi sedih dan ketakutannya semakin menjadi-jadi setelah semua ingatan itu kembali merasuki kepalanya. Anaies sontak mendorong tubuh Delta hingga punggung lelaki itu terbentur pintu kemudi mobil kemudian Anaies keluar mobil dan berlari menjauh.

"Nona Anaies!" panggil Delta dengan nada panik.

Lelaki itu ikut turun dari mobil dan segera berlari mengejar Anaies yang terus menangis.

"Nona!!!" teriak Delta, dia terus mengejar nonanya yang cukup jauh di depannya.

Delta mempercepat tempo larinya sehingga dia berhasil meraih lengan Anaies dan menarik gadis itu, bermaksud untuk membuat Anaies menghadap dirinya.

"Nona, ada apa? tolong jangan lari seperti tadi!"

Nada tinggi Delta membuat tangisan Anaies berhenti secara mendadak namun gadis itu kini menunduk dan terdiam.

"Maaf.." ucap Anaies dengan suara bergetar.

Delta mencengkram pelan kedua bahu Anaies, sorot mata lelaki itu tampak begitu menyesal setelah dia menyadari bahwa tadi dia sangat kurang ajar karena berbicara dengan nada tinggi.

"Nona, mohon maafkan saya. Maaf.." Delta melepas cengkramannya dari bahu Anaies lalu meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya dengan sangat kuat namun lembut.

"Mari kembali ke mobil nona, saya akan mengantar ke tempat yang nona ingin datangi." ujar Delta.

•••

"Dav, tadi lo ke kampus Anaies?" tanya seorang laki-laki bernama Rehan.

Dav hanya melirik tajam tanpa berminat menjawab pertanyaan Rehan. Ia melepas jaket kulitnya lalu melemparnya kasar ke arah sofa kemudian duduk dan bersandar di sana.

"Gue bertanya baik-baik, Dav!"

Dav mengeluarkan vape dari balik kantong celana lalu menghisapnya.

"Gak boleh?"

Itu bukan jawaban bagi Rehan namun dapat dia simpulkan bahwa Dav benar-benar menemui Anaies lagi setelah sekian tahun lamanya.

"Lo jangan bertindak gila lagi, Dav! Anaies itu sepupu kita!"

Dav yang mendengar celotehan Rehan hanya terkekeh mengerikan lalu menghisap vape-nya dan menghembuskannya lagi.

"Tindakan gue gila? ya, gue mengakui itu," ucap Dav dengan senyum sinis ke arah Rehan,

"tapi gue gak bisa bersabar lagi, Han. Anaies milik gue sejak saat itu!" lanjut Dav kemudian mengusap wajahnya secara kasar.

"Apa lo gak bisa berhenti? dulu lo melecehkan Anaies dan sekarang lo mau berulah dengan ganggu dia? tolong jangan gila, Dav!" ujar Rehan, berusaha menasehati Dav.

"Lo berisik, Han! gue juga udah berusaha menahan diri gue tapi gak bisa! Anaies selalu ada dalam diri gue, dia milik gue sejak saat itu."

Rehan menggelengkan kepalanya, dia sudah sangat lelah dan bingung memikirkan bagaimana cara menyadarkan Dav agar bisa berhenti merencanakan dan melakukan hal aneh.

"Dav, tolong dengarkan gue baik-baik!"

Kedua tatapan Rehan dan Dav saling beradu dan sama-sama menunjukkan ekspresi yang serius.

"Anaies adalah sepupu kita. Dia adalah sepupu lo, Dav! apa lo gak cukup membuat luka yang membekas pastinya di dalam ingatannya? apa lo gak cukup bikin Anaies jauh dari kita semua? berhenti, Dav! lo gak boleh terus berpikiran untuk membuat dia jadi milik lo!"

"Anaies milik gue! dia milik gue sejak saat itu sampai kapanpun!" tegas Dav sebelum ia berdiri dan meraih jaket kulitnya dan memberi Rehan tatapan tajam.

"Lo sepupu gue, seharusnya lo mendukung gue untuk memperbaiki ini!"

Rehan yang sejak tadi menahan emosi langsung berdiri dan meraih kaos sepupunya itu dan mencengkramnya kuat. Tatapan Rehan tak kalah tajam bahkan saat ini Rehan sangat berbeda dari yang biasanya.

"Cara berpikir lo yang berkeinginan memperbaiki ini itu salah besar, Dav! harusnya lo paham kalau apa yang lo coba lakukan itu akan membuat Anaies semakin terjerumus dalam bayang-bayang masa lalu dimana lo—!" nada bicara Rehan yang keras tiba-tiba berubah menjadi pelan namun mampu menampar Dav untuk melihat kenyataan.

"melecehkan Anaies dan membuatnya dibenci oleh keluarga kita!" sambung Rehan kemudian melepaskan cengkramannya pada kaos Dav dengan cara mendorongnya.

Anaies [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang