00 : BEGINNING

2.3K 146 40
                                    

Sebuah tamparan keras mengenai pipi seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Tangis kencang gadis kecil itu meraung-raung ketika tamparan itu mengenai pipinya berulang-ulang kali.

"Anak bodoh! sialan! kamu buat malu keluarga!!!"

Teriakan amarah membuat gadis itu terus menangis sambil menundukkan kepalanya. Tidak ada yang menolongnya, semua orang hanya menonton dirinya yang ditampar dan diteriaki oleh kedua orang tuanya. Nenek, om-tante, bahkan para sepupunya termasuk 'pelaku' menyaksikannya dengan tatapan jijik dan geram. Tidak ada satupun orang yang menghentikan wanita yang terus menampar bahkan membentaknya dengan kasar.

Kebas terasa dipipinya, air matanya tak kunjung berhenti. Ia hanya bisa memohon dalam hati, meminta agar seseorang dapat menolongnya. Ini bukan salahnya. Ini tidak adil. Mengapa ia yang diperlakukan sedemikian kasarnya di saat yang bersalah dan pelaku sebenarnya bukanlah dirinya?

"Cukup Elea!" seorang pria paruh baya yang merupakan kakek gadis kecil itu datang dari arah pintu utama lalu membawa si gadis kecil ke dalam gendongannya.

"Bapak gak usah bela anak bodoh itu! turunkan dia, pak! aku belum selesai menghukumnya!" Elea, wanita yang merupakan mama dari gadis kecil itu menatap marah ayah kandungnya sendiri.

Praja, sang kakek dari gadis kecil tersebut menggeleng seraya tetap menggendong dan mencoba menenangkan cucunya.

"Kamu, suamimu, dan kalian semua benar-benar keterlaluan. Anaies masih kecil, bagaimana kalian bisa menampar, membentak bahkan menontonnya dengan tatapan seperti itu? kalian tidak punya hati? kamu juga Herman! kamu itu papa Anaies! kenapa kamu diam saja melihat istrimu menampar anak sematawayangmu seperti tadi?!"

"Mas, cucumu itu anak kurang ajar dan membuat malu keluarga kita! dia pantas mendapatkan tamparan oleh mamanya seperti tadi! kenapa kamu justru memarahi putri, menantu, bahkan kamu memarahi kami?!"

Kakek Praja menatap tajam istrinya-Nenek Erdhanti, "Diam! saya gak mau dengar kamu berkata seperti itu! memangnya kamu tahu dari mana Anaies yang salah? lalu apa kesalahannya?! tidak, meskipun Anaies salah harusnya kalian semua tidak seperti ini! menghakimi anak kecil yang usianya baru delapan tahun? otak kalian sudah rusak atau bagaimana?!"

Mama Elea menatap geram wajah anaknya sendiri yang berada digendongan sang kakek, sedangkan Anaies terus menangis dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Kakek Praja.

"Hentikan sampai di sini! kalian bilang Anaies buat malu keluarga? baiklah, mulai detik ini Anaies akan tinggal di rumah saya yang lain! dan jangan kira kalian bisa datang ke sana!" Kakek Praja membawa cucunya pergi dari ruang keluarga ke luar rumah mewah nan megah tersebut.

"Mas!!!" Nenek Erdhanti berteriak memanggil nama suaminya yang hilang dari pandangannya.

Sedangkan Mama Elea dan Papa Herman, orang tua Anaies diam terpaku ketika menyadari bahwa putri mereka tidak akan bersama dengan mereka lagi. Tatapan keduanya seketika kosong.

"Sudah! semua bubar!" Nenek Erdhanti memijat pelipisnya. Dia sendiri tidak percaya suaminya membawa Anaies pergi dari rumah ini.

Semua orang pergi ke kamar masing-masing, begitupun sang 'pelaku' sebenarnya yang saat ini mengacak rambutnya merasa marah namun sedetik kemudian tertawa di dalam kamarnya.

"Ini belum berakhir, An.."

•••

"Ana, sekarang Ana tinggal di sini ya? semua kebutuhan Ana biar kakek yang urus mulai sekarang. Kakek juga akan segera mencari seseorang untuk membantu kakek mengurus Ana di rumah ini."

Anaies terus menangis dalam pelukan sang kakek setelah 1 jam lalu mereka sampai di sebuah rumah tak kalah mewah dan megah dari rumah milik kakek yang sebelumnya.

"Sst...sudah nak, jangan nangis lagi ya? gak apa-apa, sekarang gak ada yang akan kasar sama Ana. Ini rumah Ana. Rumah khusus untuk Ana, rumah milik Ana sendiri. Kakek gak akan biarin mereka mengganggu Ana lagi." Kakek Praja mengusap rambut cucunya.

"Ana, dengarkan kakek," Kakek Praja melerai pelukannya dan menatap wajah gadis kecil yang masih menangis sesegukkan. "Mulai sekarang Ana harus kuat ya?"

Rosalina Anaies, gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dengan air mata yang masih saja turun di kedua pipinya.

Kakek Praja tersenyum lalu mencium dahi Anaies penuh kasih sayang, "Cucu kakek, sekarang apapun yang kamu mau bilang ke kakek. Semuanya akan kakek kasih. Semuanya."

| 11 tahun kemudian

"Nona, tunggu saya!"

Anaies terus berlari di lorong, mengabaikan Delta-orang yang ditetapkan oleh sang kakek sebagai pengawal pribadinya- mengikutinya dari belakang.

"Nona, tolong jangan berlarian seperti itu! saya takut nona jat-" belum sempat selesai bicara, mata Delta melebar saat melihat nonanya tiba-tiba terjatuh. "Nona!"

Delta langsung mengangkat tubuh Anaies, "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang, nona!"

"D-delta! t-turunkan aku! aku tidak apa-apa, tidak perlu ke rumah sakit!" Anaies meronta, meminta diturunkan.

Delta tidak mendengarkan nonanya, dia terus berjalan ke luar gedung fakultas. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki yang memiliki tinggi yang hampir mendekati tingginya berdiri di hadapannya.

Laki-laki itu menyeringai, "Long time no see, cutie.."

Kedua mata Anaies melebar saat dirinya melihat orang yang jelas-jelas tidak asing dalam ingatannya itu. Tanpa sadar, Anaies mencengkram pegangannya pada bahu Delta lalu tubuhnya bergetar hebat. Ingatan Anaies seperti tertarik ke 'masa itu', wajahnya gusar, detak jantungnya begitu kencang. Anaies menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Delta.

"Bawa aku pergi, Delta..." bisiknya pada pengawal pribadi yang usianya tujuh tahun lebih tua darinya.

Delta melirik nonanya yang berada dalam gendongannya sejenak kemudian melangkahkan kakinya melewati laki-laki yang Delta tahu merupakan mimpi buruk bagi nonanya.

Laki-laki itu terkekeh saat dirinya dilewati begitu saja. Tatapannya tertuju pada punggung Delta yang membawa Anaies pergi darinya. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal sempurna.

"Anaies..." desisnya marah.

Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Tatapannya masih menyorot tajam punggung Delta yang perlahan-lahan mulai menghilang dari pandangannya.

Kali ini ia akan mengalah. Pertemuan pertama setelah sekian lama, baginya Anaies masih merupakan mimpi indahnya yang harus ia raih secepatnya.

Anaies [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang