32 : BREAKING THE CHAINS

72 5 0
                                    

Anaies berbaring di tempat tidur yang besar namun terasa dingin, jantungnya berdegup kencang. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tetap bekerja keras. Dia harus menemukan cara untuk keluar dari tempat ini. Setiap tarikan napas terasa berat, tak hanya karena kehamilannya, tetapi juga ketakutan yang melingkupi pikirannya. Dia tahu, kabur secara fisik tidak mungkin saat ini. Rasa sakit di punggungnya setiap kali dia bergerak mengingatkannya bahwa dia harus berpikir cerdas, bukan nekat.

Dav kembali ke dalam kamar dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Anaies berdiri. "Aku harap kamu nyaman, cutie. Ini rumah kita sekarang. Aku udah pastikan gak ada yang bisa mengganggu kita di sini," katanya sambil mengusap pipinya dengan sentuhan lembut namun penuh kendali. Anaies mencoba tersenyum lemah, menyembunyikan ketakutan dan rencana yang mulai terbentuk di kepalanya.

"Selama kamu di sini, kamu akan aman, An. Aku jaga kamu dan anak kita. Nggak ada yang bisa melawan keputusanku. Delta... dia nggak akan bisa menyentuhmu lagi." Kata-katanya seakan paku terakhir yang mengubur harapan Anaies. Namun, di balik semua itu, Anaies tahu bahwa satu-satunya kesempatan kabur adalah sekarang, sebelum Dav semakin memperkuat kendalinya.

Begitu Dav meninggalkan kamar dan mengunci pintu di belakangnya, Anaies langsung bangkit dengan hati-hati. Tubuhnya memang lemah, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang dia rasakan. Dia memeriksa sekeliling ruangan, matanya tertuju pada meja kecil di sudut kamar. Jantungnya berdegup kencang saat dia membuka laci-laci dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa membantunya.

Di dalam laci terakhir, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan berbentuk persegi kecil. Sebuah ponsel. Hatinya berdebar. Dia segera menyalakan ponsel tersebut, dan layar menyala dengan segera. Beruntung, ponsel itu masih memiliki baterai dan, lebih penting lagi, ada sinyal. Ini adalah harapan yang dia butuhkan.

Tanpa membuang waktu, Anaies langsung mengetik nomor Delta. Beruntunglah dia daya ingatnya sangat kuat. Tangannya gemetar saat dia menekan tombol panggil, berdoa agar Delta akan menjawab. Setiap detik terasa begitu lambat.

Setelah beberapa nada panggil, suara yang sangat dikenalnya terdengar di ujung sana. "Halo?"

Suara Delta membuat air mata Anaies mengalir tanpa bisa dibendung. "Delta... tolong aku... Dav bawa aku ke rumah terpencil... Aku nggak tahu di mana ini..." Suaranya terisak, mencoba menahan ketakutannya agar tidak terdengar terlalu jelas.

"Anaies?! An..aku akan menemukan kamu, Anaies. Tetap tenang, jangan—"

Tiba-tiba, suara pintu kamar terbuka. Anaies terkejut dan dengan cepat mematikan ponsel, menyembunyikannya di balik bantal. Dav muncul dengan ekspresi yang tak bisa ditebak, matanya menyipit seolah memperhatikan setiap gerakan Anaies.

"Kamu baik-baik aja, cutie?" tanyanya, suaranya terdengar lembut tapi penuh kecurigaan.

Anaies berusaha tenang. "Aku cuma... merasa sedikit pusing," jawabnya, suaranya terdengar gemetar, tapi Dav sepertinya tidak memperhatikan.

Dav mendekatinya, tangannya menyentuh perut Anaies. "Kamu harus istirahat. Bayi kita butuh kamu sehat," katanya sambil tersenyum dingin. "Jangan khawatir. Kita akan aman di sini, jauh dari semua orang."

Anaies berusaha menyembunyikan ketegangan dalam dirinya. Tapi di dalam hatinya, dia berdoa agar Delta bergerak cepat. Setiap menit yang berlalu adalah waktu yang berharga. Dia tahu Dav tidak akan membiarkannya lepas begitu saja, dan jika Dav mengetahui bahwa Anaies berusaha menghubungi dunia luar, maka segalanya akan menjadi jauh lebih buruk.

🌹🌹🌹Anaies🌹🌹🌹

Anaies terus berbaring di tempat tidur, mencoba mengatur napas yang terasa semakin berat. Ketegangan semakin menyelimuti dirinya, seolah udara di kamar itu menipis. Dia tahu Dav bisa kembali kapan saja, dan jika dia menyadari ada sesuatu yang salah, Anaies tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Setiap menit berlalu dengan begitu lambat, dan Anaies merasa seperti terjebak dalam jebakan waktu yang mencekiknya. Pikirannya terus berpacu. Apakah Delta akan sampai tepat waktu? Apakah pesan singkatnya cukup untuk memberikan petunjuk yang jelas? Keraguan mulai menguasai dirinya, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain menunggu.

Dari kejauhan, Anaies mendengar suara kendaraan yang mendekat. Adrenalin segera memompa di seluruh tubuhnya. "Apakah itu Delta?" pikirnya. Harapan kembali menyala dalam hatinya. Dia ingin bangkit dan melihat keluar jendela, tapi tahu bahwa gerakan apapun bisa membuat Dav curiga.

Namun, hanya beberapa detik kemudian, suara langkah kaki yang berat terdengar di luar pintu. Jantung Anaies berdegup kencang, rasa takut merayap naik saat pintu terbuka perlahan. Dav masuk, kali ini dengan tatapan penuh kewaspadaan. Dia berdiri di pintu, menatap Anaies dengan tatapan yang sulit dibaca. Seolah dia sedang mempelajari setiap gerakan kecilnya.

"Kamu nggak melakukan sesuatu yang aneh, kan?" tanya Dav, suaranya lebih rendah dari biasanya.

Anaies menelan ludah, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. "Nggak, aku cuma lelah," jawabnya sambil mencoba tersenyum lemah. "Aku butuh istirahat."

Dav tidak segera merespons. Dia terus memandangi Anaies, seperti mencoba menembus pikirannya. "Oke," katanya akhirnya, dengan suara yang begitu lembut namun menakutkan. "Kamu istirahat aja, cutie. Aku ada urusan di luar sebentar."

Dav keluar lagi, tapi kali ini Anaies merasa dia tidak akan pergi jauh. Anaies mencoba tetap tenang, namun rasa takut semakin mendominasi dirinya. Dia merasakan kehadiran Dav yang selalu mengintai, mengawasinya tanpa henti. Jika dia melakukan kesalahan sedikit saja, semuanya bisa hancur.

Tiba-tiba, suara lain terdengar di luar rumah, dan kali ini terdengar lebih jelas. Anaies yakin itu adalah suara langkah kaki—dan bukan langkah kaki Dav. Jantungnya berdetak makin cepat. Mungkinkah itu Delta?

Anaies tidak bisa menahan rasa takut dan harapannya lagi. Ia bangkit pelan-pelan dari tempat tidur, menempatkan dirinya di dekat jendela. Tangan gemetar saat ia menyibak tirai tipis dan menatap ke luar. Di kejauhan, bayangan seseorang tampak mendekati rumah, menyelinap di antara pepohonan.

"Delta..." bisik Anaies lirih.

Namun, sebelum Anaies bisa bergerak lebih jauh, pintu kamar terbuka lagi dengan keras. Dav muncul dengan ekspresi marah yang tak bisa disembunyikan. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya. Anaies membeku, tahu bahwa dia sudah terlalu jauh.

Dav melangkah cepat ke arah Anaies, menggenggam lengannya dengan kuat. "Kamu mencoba kabur, ya?!" Matanya menyala penuh kemarahan. Anaies tidak bisa menjawab. Semua rasa takut yang telah ia coba sembunyikan kini menguap begitu saja.

"Aku nggak akan biarkan kamu pergi dari sini, Anaies!" Dav merenggut ponsel yang ia temukan dari balik perabot, wajahnya memucat saat dia melihat pesan yang dikirim Anaies. "Kamu sudah main-main terlalu jauh!"

Anaies menangis, mencoba meronta, tapi tubuhnya terlalu lemah. "Dav... tolong..."

Namun, sebelum Dav bisa bereaksi lebih lanjut, terdengar suara keras dari luar pintu. Pintu utama didobrak. Delta dan beberapa pria bersenjata muncul, mengarahkan senjata mereka ke Dav. "Lepaskan dia sekarang!"

Dav terdiam sejenak, kaget dengan kehadiran Delta beserta anak buahnya yang menemukan tempat ini sangat cepat. "Sial!" rutuknya.

Anaies [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang