33 : BENEATH THE CHAINS OF FEAR

12 1 0
                                    

"Genio Dave, lepaskan istri saya!" geram Delta yang melihat Dav mencengkram pergelangan Anaies.

Dav tertawa lirih dan menarik Anaies lebih dekat, merangkul pinggang gadis yang menjadi obsesinya, gadis yang mengandung anaknya. 

"Sebaiknya lo pergi. Lo pikir dengan bawa banyak anak buah lo itu bakal bisa bawa Anaies? nggak, Delta. Lo salah!" Dav mengetuk jarinya, pertanda buruk bagi Delta beserta anak buahnya. 

Orang-orang kepercayaan Dav ternyata sudah mengepung dari luar dan beberapa masuk mengelilingi Delta dan anak buahnya. Lebih banyak dan semuanya membawa senjata api. 

"Delta..." air mata Anaies turun dan merasa kalah kembali. Kalah atas takdir dan Dav, sepupunya sendiri. 

Merasa jika akan lebih berbaya apabila diteruskan, Anaies berpikir cepat dan menggeleng pada Delta, memberi kode bahwa sebaiknya Delta tidak melakukan apapun. Dikarenakan, satu langkah Delta mendekat maka nyawanya akan menghilang di depan mata Anaies. Tentu saja Anaies tidak menginginkan itu terjadi pada suaminya.

"Jadi, bagaimana cutie?" bisik Dav.

Dengan satu-satunya pilihan yang ada dalam benak Anaies, dia menghela nafas pelan sebelum berbicara dengan suara gemetar. 

"Delta...p-pergilah." 

Mendengar itu Dav tersenyum miring, merasa dirinya menang karena Anaies-nya memberi jawaban yang memuaskan hatinya.

"Apa maksud kamu An?! bagaimana mungkin aku pergi tanpa bawa kamu?" 

Delta terdiam, menatap Anaies dengan pandangan yang penuh kepedihan. Di depan matanya, wanita yang dia cintai memintanya untuk pergi, menyerah pada cengkraman pria yang selama ini memperlakukannya sebagai objek. Namun, melihat ketakutan dan air mata di wajah Anaies, Delta tahu dia harus membuat pilihan sulit.

"An... aku nggak bisa ninggalin kamu di sini. Kamu tahu itu," kata Delta, suaranya bergetar.

Dav mencengkeram pinggang Anaies lebih erat, seolah ingin menunjukkan bahwa Anaies benar-benar hanya miliknya. Dengan senyum sinis, Dav menambahkan, "Dengar sendiri kan, An? bajingan ini cukup keras kepala. Tapi ini jadi menarik, karena... semakin keras kepala dia, semakin aku menikmati permainannya."

Delta mengepalkan tangan, tubuhnya menegang saat orang-orang Dav terus mendekat, senjata teracung siap menyerang. Jika ia bergerak sedikit saja, peluru bisa saja melayang kapan saja. Namun, yang paling membuatnya ragu adalah ekspresi wajah Anaies, yang dengan jelas meminta dia untuk berhenti.

Dengan napas tertahan, Anaies berkata sekali lagi, suaranya lirih namun penuh tekad, "Delta... pergi dari sini. Aku nggak mau kamu terluka."

Delta terdiam, menatap Anaies tanpa berkedip. Hatinya hancur melihat ketakutan dan kepasrahan di mata Anaies. Ia tahu bahwa Anaies mencoba melindunginya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Itu adalah keputusan yang tidak pernah ingin Delta dengar, tetapi keadaan memaksanya untuk menerima kenyataan.

Dav tertawa puas, merasakan kemenangan di tangannya. "Lihat? Dia membuat pilihan yang benar, Delta. Jadi pergilah... sebelum gue berubah pikiran dan bunuh lo sekarang juga."

Delta menatap tajam ke arah Dav, sorot matanya penuh kebencian. Namun, ketika ia kembali melihat Anaies yang terisak, akhirnya ia sadar bahwa tidak ada pilihan lain yang bisa diambil saat ini. 

Anaies hanya bisa mengangguk pelan, menahan tangisnya. Dav menarik Anaies lebih erat ke pelukannya, merasakan tubuhnya yang dingin dan gemetar. Di sisi lain ruangan, Delta tetap berdiri tegar, namun matanya memancarkan kekalahan yang dalam. Ia tahu bahwa, dengan kondisi mereka yang terkepung, mengajak Anaies pergi adalah tindakan yang mustahil. Perlahan, Delta meletakkan senjatanya, memberikan isyarat pada anak buahnya untuk mundur.

Anaies hanya diam, membiarkan Dav menggenggamnya. Di balik ekspresinya yang datar, pikirannya berkecamuk. Selama ini, ia hanya menumpuk semua rasa sakit dan ketakutan akibat apa yang Dav lakukan padanya di masa lalu, seolah-olah itu bisa hilang begitu saja. Namun, kenyataannya, semua trauma itu masih terus menghantui dirinya.

Ini adalah waktu yang tepat, pikirnya dalam hati. Waktu untuk berdamai dengan semua rasa sakit, untuk menghadapi pria yang telah menghancurkan masa kecilnya—sepupunya sendiri, yang dulu mengambil lebih dari sekadar kegadisannya. Hatinya yang penuh luka kini terpaku pada sosok Dav, berharap bahwa dengan menghadapi dirinya, ia bisa menemukan kedamaian.

Anaies menghela napas pelan, lalu berbisik, "Pergilah, ini... ini sudah waktunya. Aku harus menyelesaikan ini."

Delta menatapnya dengan rasa bingung dan kecewa. "An,"

Anaies mencoba tersenyum meskipun air mata mengalir di pipinya. "Aku tahu ini terdengar gila, Delta, tapi aku harus melakukannya. Kalau aku terus berlari, rasa takut ini nggak akan pernah hilang. Aku harus menghadapinya."

Dav, yang mendengar semua itu, hanya tersenyum penuh kemenangan. Seolah menganggap bahwa kata-kata Anaies adalah tanda bahwa dirinya selalu memiliki tempat di hati gadis itu, tempat yang tak bisa diambil siapa pun, bahkan Delta. "Bagus, cutie. Akhirnya kamu mengerti bahwa melawan aku hanya membuat segalanya lebih sulit."

Anaies menatap Dav dalam-dalam, matanya penuh dengan kebencian yang bercampur dengan keputusasaan. Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang kini mulai ia terima—ia harus belajar berdamai dengan luka yang telah Dav ciptakan. Mungkin ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa bebas, bukan dari Dav, tetapi dari trauma yang selama ini menguasainya.

"Ini bukan tentang kamu, Dav," gumam Anaies, suaranya lirih namun penuh ketegasan. "Ini tentang aku dan caraku menghadapi masa lalu. Kamu mungkin berpikir kalau kamu menang, tapi sebenarnya aku yang akan menang dengan melawan rasa takutku sendiri."

Senyum Dav perlahan memudar, tatapannya berubah serius, seolah tersinggung dengan ketegasan Anaies. Namun, ia tetap menggenggam tangannya dengan kuat, menandakan bahwa ia tidak akan melepaskannya dengan mudah.

Delta, yang kini menyadari bahwa Anaies benar-benar telah memutuskan untuk tetap bersama Dav, hanya bisa menatap dengan perasaan pahit yang tak terucapkan. Dengan berat hati, ia berbalik, meninggalkan ruangan itu bersama anak buahnya, meninggalkan Anaies untuk menghadapi iblisnya sendiri. Namun dalam hati Delta tentu berjanji akan kembali untuk membawa Anaies-nya pergi dari tempat ini nanti.

Saat Delta menghilang di balik pintu, Anaies merasa ada beban berat yang mulai terangkat. Ia tahu bahwa Dav tidak akan mudah baginya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih kuat. Untuk pertama kalinya Anaies merasa langkah kecil yang dia ambil akan membawanya menuju kebebasan.  Dengan memilih untuk tidak lari lagi, Anaies berharap mungkin akhirnya ia bisa membebaskan dirinya dari bayangan itu. Harapan terbebas dari iblis yang telah lama menjadi mimpi buruk dan masa kelamnya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anaies [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang