First Support from Kak Mahen

615 63 0
                                    

Tidak terasa hari sudah kembali gelap, itu tandanya malam kembali menghampiri dunia. Hal itu juga berarti, bahwa Reyhan menghabiskan hari minggunya didalam kamar. Sebenarnya tadi penyakit Reyhan sempat kambuh. Reyhan kembali mimisan hebat, dan Reyhan merutuki dirinya sendiri yang telah lalai pada kesehatan tubuhnya. Reyhan lupa meminum obat saat pagi hari.

Setelah merawat diri, Reyhan berbaring di ranjang, cukup lama sampai-sampai ia terbawa oleh pengaruh obat yang sebelumnya sudah diminum. Makanya Reyhan tertidur.

Kryuk...

Suara apa itu? Sudah jelas, itu adalah suara dari perut Reyhan.

Reyhan merasa lapar, karena ia hanya makan pada pagi hari tadi.

Dengan langkah yang lunglai, Reyhan berusaha keras hanya untuk sekedar berjalan ke kursi makan.

Reyhan reflek membelalakkan matanya saat melihat sosok Mahen yang sudah duduk di kursi meja makan sembari bermain handphone.

Mahen dingin seperti biasanya, tetapi Reyhan masih saja terkejut. Bagaimana tidak, biasanya Mahen hanya berada dirumah untuk menumpang sarapan, mandi dan juga tidur. Tetapi kali ini, Mahen makan malam dirumah. Tidak bisa dipungkiri bahwa, Reyhan merasa senang sekaligus heran.

"Ka-kak?..." Lirihnya sembari mendekatkan diri ke meja makan, lalu duduk di salah satu kursi. Posisinya berhadapan persis dengan Mahen.

Dan seperti biasa juga, tidak ada percakapan diantara keduanya, mereka hanya memakan makanan masing-masing dalam diam, dengan Reyhan yang sesekali terbatuk karena dadanya yang mulai sesak.

Sebenarnya Reyhan ingin sekali memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan Mahen, tetapi ia terlalu takut hanya untuk menanyakan suatu hal.

Akhirnya mereka berdua tetap diam sepanjang ritual makan malam itu.

Beberapa menit kemudian keduanya pun selesai, Reyhan meminum obatnya dan Mahen masih diam dengan kedua tangan yang kembali sibuk mengetik sesuatu di handphone miliknya. Entah apa yang ia lakukan di handphone bermerk apel tidak utuh itu, tetapi Mahen terlihat sangat serius.

Reyhan duduk, sembari menatap Mahen dalam diam.

"Reyhan" panggil Mahen secara tiba-tiba, Reyhan sedikit tersentak tetapi segera menetralkan ekspresinya, agar Mahen tidak risih.

"I-iya kak?" Reyhan bingung harus merespon apa. Padahal ini adalah kesempatan emas baginya.

Mahen menghela nafas panjang, Reyhan sedikit menciut mendengarnya.

Reyhan tidak mengerti apa yang sedang merasuki Mahen, tetapi tanpa aba-aba telapak tangannya terulur untuk mengecek keadaan Reyhan. Bahkan kini Mahen sudah berada tepat dihadapan Reyhan, tidak berbatasan dengan meja makan lagi.

"Kapan kambuhnya?" Tanya Mahen dengan nada yang dingin. Demi apapun, Mahen masih saja merasa gengsi untuk mengekspresikan rasa khawatirnya pada Reyhan. Padahal beberapa hari yang lalu laki-laki berusia dua puluh tahun itu menangis sembari memeluk tubuh sang adik.

Siapapun tolong Reyhan sekarang. Ada apa dengan kakaknya ini? Kemarin memeluknya dengan erat dan tidak berhenti memberikan afeksi-afeksi kecil pada dirinya, tapi sekarang sudah bersikap sangat dingin. Kakaknya ini seperti bunglon saja. Karena sikap Mahen, Reyhan jadi salah tingkah sendiri.

"Hm t-tadi pagi, kak" Reyhan menjawab jujur, ia tidak mungkin berbohong kepada kakaknya.

Mahen berdecak, saat mendengar suara Reyhan yang seperti dipaksakan. Mahen yakin, jika sekarang dada remaja yang selisih dua tahun dengan dirinya itu sedang sakit.

Mahen tidak banyak bicara. Ia pergi dari hadapan Reyhan, meninggalkan sang adik yang kembali diselimuti oleh rasa takut dan bersalah.

Reyhan semakin murung saat Mahen mulai masuk kedalam kamarnya. Reyhan kira ia dan Mahen akan melakukan sesuatu, tetapi ia salah.

'Makanya, jadi orang jangan kepedean!' Batin Reyhan tertekan.

Uhuk...

Uhuk...

Uhuk...

"Argh!..." Reyhan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya, tetapi tiba-tiba ia terbatuk, dan dadanya terasa semakin sakit. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya. Tanpa disuruh pun, air mata Reyhan kembali turun dengan deras membasahi pipi tirusnya.

"Sa-sakit..."

Reyhan tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Kini tubuh kurusnya tumbang ke lantai yang dingin. Reyhan memegangi dadanya yang terasa sangat sakit dan sesak. Seperti ada dua batu besar yang menjepit jantung dan juga paru-parunya.

Sungguh, Reyhan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya, karena pada saat pagi dan siang hari tadi, anak itu tidak melewatkan waktu meminum obatnya.

________________

Sedangkan di sisi lain, Mahen nampak sama kacaunya dengan Reyhan. Ia sibuk mencari-cari sesuatu di dalam ranselnya.

Setelah menemukan benda yang ia cari, Mahen segera pergi menuju ruang makan, Mahen sangat terkejut saat mendapati tubuh kurus sang adik sudah tergeletak dengan mengenaskan di lantai, dengan keadaan hidungnya yang terus mengeluarkan darah.

"Adek!" Mahen panik, ia melempar benda yang tadi ia cari didalam tasnya ke sembarang arah.

"Kakak..." Reyhan mencengkram erat lengan Mahen saat Mahen mulai menggendongnya. Mahen membawa tubuh lemahnya ke kamar sang adik.

Mahen segera mengambil tissue yang ada disamping ranjang Reyhan, dan membersihkan semua darah yang mulai mengotori pakaiannya serta pakaian Reyhan.

"S-sebentar ya dek. Tahan dulu!" Mahen dengan rasa panik yang menyelimuti dirinya segera mengambil sebuah alat bantu pernafasan milik Reyhan yang ada di lemari. Dan segera memasangkan benda itu ke wajah Reyhan dengan cekatan.

"Ka-kak s-sakit arghh!" Reyhan tidak berhenti meraung. Ia tidak kuat, ini rasanya sangat sakit.

Kedua kaki mungilnya bergerak dengan ribut, tangan kanannya sibuk memukuli dada, sedangkan tangan kirinya mencengkeram erat seprai, untuk melampiaskan rasa sakit.

Sungguh, rasanya Reyhan sudah tidak kuat lagi.

"Adek? Kamu yang tenang, ya? Ikutin kakak. Inhale... Exhale..."

"Ayo dek, kamu pasti bisa, adek kuat. Ayo pelan-pelan..." Mahen menggenggam tangan Reyhan dengan erat, agar anak itu berhenti memukuli dadanya.

"K-kakak..."

"Kakak..."

"Kakak Mahen... Kakak..."

"Kakak dada Reyhan s-sakit--"

"P-perut Reyhan j-juga argh!..."

"Nyeri k-kak..."

"S-sakit banget, kak..."

Mahen mengusap air mata Reyhan dengan lembut. Lalu berbisik ditelinga mungil itu.

"Iya dek, ini kakak. Adek harus menang, ya? kakak ada disini sayang..."

Bagaikan ditumbuhi sejuta bunga. Perasaan Reyhan menjadi sangat bahagia saat mendengar kata-kata itu dari mulut mahen.

Andaikan tubuhnya tidak lemas. Reyhan ingin sekali memeluk Mahen saat ini, agar rasa sakit yang tengah ia rasakan saat ini bisa sedikit mereda.

'Tuhan, Reyhan mohon jangan sekarang, ya? Reyhan masih pengen ngerasain banyak momen sama kakak...' Batin Reyhan disela-sela tangisannya yang semakin keras.

Mahen menggenggam tangan Reyhan dengan erat, ia belum pernah melihat Reyhan kesakitan dalam jarak sedekat ini. Ini adalah pertama kalinya ia melihat sang adik yang sedang memperjuangkan hidupnya.

Ia tidak pernah tahu, saat Reyhan kesakitan sambil memegangi dadanya. Ia tidak pernah tahu saat hidung Reyhan terus menerus mengeluarkan darah yang merah pekat dan kental. Ia juga tidak pernah tahu bahwa Reyhan akan terus memanggil namanya saat merasa kesakitan.

Tak terasa air mata Mahen ikut keluar membasahi pipi. Ia segera mengusapnya, dengan mulut yang tak henti-hentinya membisikkan kata-kata semangat kepada Reyhan, sang adik.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang