Possessive?

426 41 6
                                    

"Beneran mau sekolah, dek?" Mahen menatap wajah Reyhan yang kini tengah mengerucutkan bibirnya, Mahen sedikit menundukkan kepalanya agar ia bisa melihat dengan jelas wajah manis sang adik yang terlihat masih sedikit pucat.

"Beneran, kak. Reyhan kan sekarang udah kelas dua belas, bentar lagi juga mau ujian, kalau jarang masuk nanti nggak lulus" jawab Reyhan sedikit mendongak, menatap wajah Mahen yang kini masih sibuk memasangkan dasi miliknya.

"Tapi kamu masih belum sehat banget loh, dek. Kakak khawatir, kalau nanti kamu kenapa-kenapa disekolah gimana?"

Reyhan menghela nafas,

"Kakak nggak usah khawatir kaya gitu deh. Aku itu udah sembuh, kak. Aku aja udah nggak pusing, dada sama perut aku juga udah nggak sakit lagi, kok"

Mahen menatap Reyhan yang kini tengah memasukkan buku-buku kedalam ranselnya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali ia membujuk sang adik agar tidak masuk sekolah terlebih dahulu sebelum tubuhnya benar-benar fit, tetapi Mahen merasa, nampaknya usaha yang dilakukannya sudah sangat membuang waktu dan berakhir sia-sia. Karena lihat saja sekarang, alih-alih mendengarkan dan menuruti kemauannya, Reyhan malah sudah selesai bersiap-siap, dan sudah sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah.

Padahal ia baru pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu.

"Izinin Reyhan buat sekolah ya, kak? Reyhan udah kangen sama sekolahan Reyhan. Udah sepuluh hari aku absen, kak..." Mahen diam, tidak menjawab. Ia membawa tubuhnya untuk duduk di pinggiran ranjang tempat tidur adiknya.

Reyhan mendengus, ia merasa sedikit kesal pada sang kakak yang ia rasa belakangan ini menjadi sangat sensitif jika sesuatu itu menyangkut dengan dirinya. Dan hal itu membuat Reyhan merasa sedikit terkekang. Tetapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa, Reyhan pun lebih menyukai kakaknya yang seperti ini daripada yang cuek, dingin dan menakutkan.

Mahen tidak berniat posesif kepada adiknya. Ia hanya khawatir, ia khawatir jika kondisi Reyhan akan kembali drop saat disekolah nanti, itu saja.

"Huft... Ya udahlah kalau kamu emang niat mau sekolah. Kakak izinin, tapi---"

"Hore!" Mahen menatap Reyhan dengan datar saat sang adik sudah berseru kegirangan, padahal ucapannya saja belum keluar sepenuhnya dari mulutnya.

"Kakak belum selesai ngomong, dek" Reyhan hanya diam, ia menunduk saat menyadari kesalahannya. Reyhan kembali merasa takut saat mendengar helaan nafas berat milik Mahen.

"Kakak izinin kamu buat masuk sekolah, tapi yang antar-jemput nanti kakak, nggak boleh sama yang lain!" Ucap Mahen penuh penekanan.

"Tapi kak..."

"Apa lagi?"

"I-itu, kalau kakak yang antar-jemput Reyhan, terus Jevan gimana? Reyhan kan udah biasa bareng sama dia"

"Buat Jevan, kakak kemarin udah bilang sama dia kalau beberapa waktu ke depan kakak yang bakal antar-jemput kamu. Dan dia fine-fine aja tuh. Dia malah bilang, kalau dia bisa tidur lebih lama dan berangkat lebih siang kalau nggak bareng sama kamu"

Reyhan melebarkan matanya, apa benar Jevan bilang seperti itu kepada Mahen? Huh, memang anak itu, ya. Nakal sekali!

"M-masa? Masa iya Jevan ngomong kaya gitu?!" Mahen mengangguk, ia bisa melihat ekspresi Reyhan yang seketika berubah. Belah bibir anak manis itu langsung melengkung kebawah, dan itu terlihat sangat lucu.

"Udah selesai belum? Kalau udah ayo sarapan dulu, habis itu kita berangkat" ucap Mahen yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Reyhan.

_________________

Tak terasa waktu sudah berlalu begitu saja, saat ini matahari sudah mulai menunjukkan tanda-tanda akan tenggelam, itu tandanya hari sudah sangat sore. Dan seperti yang Mahen katakan, Reyhan hanya boleh berangkat serta pulang dari sekolah dengan dirinya, tidak dengan orang lain.

Jika Mahen yang tengah menyetir terlihat fokus pada jalanan, maka hal itu akan berbanding terbalik dengan sosok lelaki mungil yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Bagaimana tidak, sedari tadi kedua mata itu tampak terpejam erat, dengan kedua tangan miliknya yang masih setia menggenggam erat sebungkus camilan kesukaannya, yakni cimol.

Ciitt!...

"Bangsat!" Mahen segera menutup mulutnya saat sadar jika mulutnya berkata kotor.

Kedua netra Mahen menatap kearah Reyhan yang kini sudah menggeliat kecil, disusul oleh terbukanya kedua manik berwarna hitam kecoklatan itu.

"Pusing..." Lirihnya begitu kedua matanya terbuka, Mahen segera mengusap surai hitam Reyhan dengan pelan.

"Adek sabar dulu, ya. Sebentar lagi udah sampe, kok."

Reyhan hanya mengangguk kecil. Diam-diam ia memohon kepada Tuhan agar penyakitnya tidak kambuh lagi hari ini. Karena jujur saja, saat ini kepala Reyhan sudah terasa sangat berat dan pusing. Setiap ia menatap sebuah objek, pasti rasanya objek itu seperti berputar-putar.

Tiinn!

"ARGH! HATI-HATI DONG PAK!" Mahen terlanjur emosi, ia menyembulkan kepalanya keluar, dan meneriaki pengendara sepeda motor yang dengan seenaknya menerobos jalur.

Mahen benar-benar tidak habis pikir dengan orang-orang, mengapa mereka suka sekali melanggar peraturan?

Sekali lagi ia menoleh kearah sang adik, yang kembali memejamkan mata setelah melihat kejadian tidak menyenangkan barusan. Wajah anak itu terlihat pucat, pun dengan tangan kirinya yang tidak berhenti meremas bagian perut.

Mahen membawa mobilnya menepi saat berada dijalan yang lumayan sepi, dan mengulurkan tangannya untuk mengusap perut sang adik.

"Sakit lagi ya, perutnya?" tanyanya, masih dengan telapak tangan yang mengelus perut Reyhan.

Reyhan mengangguk, ia menatap Mahen dengan perasaan bersalah.

"Kakak... Maafin Reyhan ya, kak" Ucap Reyhan tiba-tiba.

"What for?"

"Eum... Anu..."

"Anu apa, hm?"

"Ta-tadi pas disekolah ada jam olahraga, terus prakteknya lari-lari keliling lapangan. Aku capek banget, kak. Padahal aku cuman ikutan sebentar, tapi badan aku udah nggak kuat. Sekarang badan aku kerasa sakit semua. Kepala aku pusing, perut aku sakit, terus dada aku juga sesak. Harusnya aku tadi nurut aja sama kakak. Harusnya aku tadi nggak masuk sekolah dulu, tapi aku malah ngeyel..."

Jelas Reyhan, Mahen menatap intens wajah manis dihadapannya dan menyimak dengan serius saat Reyhan bercerita panjang lebar.

Lalu, Mahen mengusap kepala sang adik dengan lembut.

"Jangan marah ya, kak. Reyhan minta maaf... Reyhan janji setelah ini bakalan nurut sama kakak"

Mahen tersenyum tipis, ternyata Reyhan masih mengira bahwa dirinya adalah sosok yang mudah marah, sama seperti dulu.

"Iya, udah nggak apa-apa, kakak nggak marah, kok. Sekarang adek istirahat, ya? Bobo dulu aja, nanti kalau udah dirumah minum obat, pakai nebulizer nya biar dadanya nggak sesak lagi. Oke?"

Reyhan mengangguk.

"T-tapi nanti kakak temenin Reyhan, ya?"

"Iya, nanti kakak temenin" Jawab Mahen sembari terkekeh kecil.

Setelahnya tidak ada pembicaraan lagi, karena Mahen kembali melajukan mobilnya, dan Reyhan pun kembali memejamkan mata.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang