Bad News

370 43 0
                                    

Jevan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia mengumpat, merutuki kebodohannya sendiri yang entah mengapa terjadi di situasi yang tidak tepat.

Dengan tangan yang gemetaran, Jevan yang sudah membaca semua pesan dari Mahen pun segera memencet ikon telepon yang ada di pojok sebelah kanan layar ponselnya. Dan beberapa detik kemudian, Mahen mengangkatnya. Jevan bisa mendengar suara berisik dari seberang sana, ditambah dengan hembusan nafas Mahen yang terdengar tidak teratur. Kakak sang sahabat nampak seperti baru saja selesai berlari beberapa kilometer.

"Halo, bang?"

"Lo dari mana aja sih? Gue hubungin nggak bisa! Hp lo kenapa?! Kok mati dari tadi?!"

"Reyhan juga kemana? Kenapa hp nya mati? Gue khawatir tau nggak sih?! Kalau kalian mau main itu harusnya pulang dulu kerumah. Atau minimal izin dulu lewat telepon atau chat, kek!"

Jevan menghela nafas panjang, laki-laki berusia delapan belas tahun itu tidak menjawab apapun karena ia sadar betul atas kesalahan yang telah dilakukannya. Jevan sudah memaklumi jika Mahen akan marah-marah seperti ini.

"Dimana adek gue sekarang, Jevan?!"

"Rey-han..."

Jevan menghela nafas panjang, sebelum akhirnya berkata;

"Reyhan lagi dirumah sakit, bang. Penyakitnya kambuh lagi t-tadi"

"S-sekarang Reyhan m-masih belum sadar. Reyhan ko---"

Lagi-lagi Jevan pantas jika dibilang pengecut, karena bukan hanya tidak bisa menjelaskan kondisi Reyhan saat ini, tetapi anak itu juga kembali menangis di tengah-tengah kalimatnya.

"Jev? Lo kenapa, kok nangis? Reyhan baik-baik aja, kan?"

"Jev? Jevan! Bicara yang jelas dan jangan nangis! Reyhan kenapa?! Adek gue kenapa?!"

"Dimana lo? Sharelock sekarang. Nggak usah banyak omong lagi, buruan kirim ke gue alamat lo!"

Mendengar Jevan yang tak kunjung menjawab, Mahen jadi gregetan sendiri.

Jevan masih tidak bisa bicara karena anak itu semakin sesenggukan. Ia pun mengangguk dibalik saluran telepon. Ia tahu dan sadar betul Mahen tidak akan bisa melihat reaksinya, tetapi Jevan juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak kuat.

Jevan segera mematikan sambungan telepon antara dirinya dengan Mahen, dan mengirim lokasinya sekarang.

Pesan yang di kirim oleh Jevan langsung dibaca oleh laki-laki yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya itu, dan Jevan sedikit menghela nafas lega saat membaca pesan yang dikirim Mahen setelahnya.

Bang Mahen
Online

📌Send a location|
Nama kamarnya Flamboyan, Bang|
18.48

|15 menit lagi gue sampe.
Read
______________

Jika disana ada Jevan yang tengah menangis meratapi kondisi sang sahabat, maka hal itu tidak jauh berbeda dengan keadaan laki-laki berusia dua puluh tahun yang saat ini masih berada di sebuah taman, tempat biasanya dirinya dan sang adik kecil melakukan olahraga ringan atau jogging.

Jika kalian bertanya, mengapa laki-laki bernama Mahen itu tengah berada di sebuah taman, maka jawabannya sudah jelas, yakni untuk mencari keberadaan sang adik.

Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu, selain karena rasa lelah akibat berjalan terlalu lama, Mahen juga merasa gelisah dan takut yang luar biasa.

Mahen menghela nafas berat, sebelum akhirnya membawa kedua kaki jenjangnya berlari kearah mobilnya terparkir.

__________________

Mahen mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, kepalanya terasa pening dan dadanya terasa sesak saat memikirkan segala sesuatu yang mungkin saja terjadi kepada sang adik. Apalagi mendengar Jevan yang menangis di balik sambungan telepon tadi, hal itu membuat Mahen semakin kacau. Ia panik setengah mati, seketika kepalanya terasa penuh, banyak sekali yang ia pikirkan saat ini. Dan sosok yang menjadi pusat dari segala pemikiran buruknya saat ini tidak lain adalah Reyhan Jean Nugraha, adik bungsunya.

Beberapa menit membelah jalanan kota yang sialnya sangat macet akibat hujan deras yang mengguyur, Mahen pun akhirnya sampai di rumah sakit tempat adiknya dirawat. Laki-laki dengan perawakan tinggi itu segera melangkahkan kakinya menuju kamar yang disebutkan oleh Jevan di chat tadi.

Dan Mahen menghela nafas panjang ketika ia masuk kedalam kamar bernuansa putih polos itu, Mahen bisa melihat ada raga sang adik yang kini kembali tertidur pulas diatas ranjang. Bahkan saking pulas nya, Mahen sampai tidak tahu kapan kedua netra rubah itu akan kembali terbuka.

Mahen menghampiri ranjang tempat Reyhan menutup mata, dan menatap sosok lain yang saat ini masih tidak menyadari kedatangannya.

Dia adalah, Jevan.

Mahen menatap Jevan yang saat ini masih terisak dengan posisi memeluk lengan Reyhan yang terbebas dari selang infus.

Tangan kekarnya ia bawa pada bahu Jevan, dan menepuknya tiga kali.
Hal itu membuat Jevan terkejut, laki-laki yang usianya lebih muda dua tahun dari Mahen itu kini menatap Mahen dengan kedua mata yang sembab.

"B-bang Mahen..." panggilnya lirih.

"M-maafin Jevan ya, Bang..."

"Maaf"

"M-maaf karena Jevan nggak b-bisa jagain Reyhan..."

"G-gue bego, Bang. Gue nggak becus jagain Reyhan..."

"M-maaf..." Rengek Jevan sambil menggenggam tangan Mahen erat, air mata tidak berhenti mengalir dari kedua matanya.

Mahen menghela nafas panjang, dan mengusap air mata Jevan dengan lembut.

Untuk saat ini Mahen tidak ingin terlalu gegabah, ia harus menahan diri agar amarahnya tidak meledak saat ini juga. Apalagi saat melihat kondisi sang adik yang nampaknya begitu parah, Mahen tidak ingin membuat keadaan semakin keruh.

"Sst, udah diem. Nggak usah nangis" Jevan membeku, saat mendengar suara Mahen yang bukannya terdengar sedang marah, akan tetapi nada suara itu terdengar sangat halus.

"Gue nggak suka sama laki-laki yang gampang nangis" Mahen menghela nafas panjang, dan mengalihkan pandangannya pada raga sang adik yang nafasnya terdengar berat.

"B-bang..." Jevan menatap Mahen tidak percaya.

Setelah mengecup pipi Reyhan yang terbebas dari masker oksigen, Mahen kembali menatap wajah Jevan.

"Kalau lo mau gue maafin, jelasin apa yang udah terjadi. Kenapa hp lo mati seharian, dan sampai Reyhan jadi kaya gini" ucapnya dengan santai.

Jevan mengangguk, ia mengikuti Mahen yang kini sudah duduk di sofa.

"J-jadi gini, bang..."

Jevan menghela nafas panjang, dan mulai menceritakan semuanya kepada Mahen. Mahen hanya memijat pelipisnya, kepalanya sekarang terasa sangat pening.

Setelah selesai menceritakan semuanya kepada Mahen, Jevan kembali menundukkan kepala. Sungguh, Jevan merasa sangat bersalah dan takut diwaktu yang bersamaan.

Namun perasaan takut itu seakan hilang dan musnah begitu saja saat Jevan mendengar respon Mahen yang terdengar berbeda.

Bagaimana tidak, alih-alih marah dan bertindak kejam, Mahen malah terlihat lebih sabar dan santai. Tidak seperti dirinya yang pikirannya sudah bercabang kemana-mana.

Sejujurnya, Jevan juga tidak menyangka hal ini akan terjadi. Pasalnya, selama beberapa menit sebelumnya Jevan sudah membayangkan berbagai peristiwa yang mungkin akan terjadi pada dirinya. Jevan terkejut, ia tidak menyangka jika Mahen akan setenang ini, sedangkan ia saja tahu jika Mahen adalah seorang pribadi yang keras, kasar dan sangat dingin.

___________________

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang