Bad Feeling

387 46 1
                                    

Sudah satu Minggu lamanya Reyhan berada di rumah sakit. Bukannya membaik dan membuka kedua matanya, anak itu kini malah terlihat semakin drop.

Tepat pada pukul setengah dua dini hari dihari kedua dirawat, Mahen dibuat mandi keringat karena Reyhan yang tiba-tiba mengalami henti jantung. Anak itu benar-benar tidak bernapas selama hampir lima menit. Hal itu membuat Mahen panik, laki-laki itu panik setengah mati, apalagi saat mendengar bunyi monitor disebelah brankar Reyhan yang terdengar lambat, Mahen benar-benar panik setengah mati hingga tidak bisa tidur semalaman.

Dan setelah kejadian itu, Mahen yang merasa tidak bisa mengatasi hal ini sendirian pun memutuskan untuk menghubungi Daniel, yang sedang menjalankan salah satu perusahaan milik almarhum Ayah di Surabaya.

Mahen bersyukur karena sang kakak tidak marah ataupun menyalahkan dirinya atas semua ini, bahkan laki-laki yang usianya lebih tua lima tahun dari dirinya itu mengabari Mahen bahwa selambatnya dalam dua hari lagi ia akan sampai ke Jakarta.

Dan tepat dua hari setelahnya, Mahen akhirnya bisa menghela nafas lega ketika Daniel tiba di rumah sakit.

Untuk Jevan? Mahen menyuruh---ah ralat, maksudnya adalah memaksa anak itu untuk pulang kerumahnya dan pergi ke sekolah, karena sudah tiga hari Jevan absen dan tidak pergi ke sekolah. Anak itu benar-benar menemaninya menjaga Reyhan dirumah sakit. Karena jangankan ke sekolah, keluar dari ruangan tempat Reyhan dirawat saja Jevan tidak rela untuk melakukannya. Berlebihan memang, tetapi begitulah kenyataannya. Anak itu sudah menyayangi adiknya seperti saudara kandungnya sendiri.

Karena ada Daniel, Mahen berani pulang ke rumah untuk sekedar mandi atau beristirahat walaupun hanya sebentar, karena akan ada Daniel yang menggantikannya berjaga. Seperti sekarang ini, Mahen sedang berada di rumah, ia baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya. Sebelum kembali ke rumah sakit, Mahen ingin membawa beberapa peralatan kampusnya, agar ia bisa sedikit mencicil pekerjaan rumahnya yang sudah menumpuk.

Mahen mulai memasukkan beberapa buku dan juga laptopnya kedalam tas, sebelum menggendongnya dan menuju ke lantai bawah.

"Den Mahen?" Tepat ketika tungkai kakinya menapak ke anak tangga terakhir, Mahen mendengar suara seseorang yang sangat ia kenali.

Mahen menolehkan kepalanya, ia bisa melihat Bi Ami yang tersenyum manis kearahnya, dengan tangan kanan yang menenteng sebuah kantong plastik berisi sayuran dan berbagai bahan makanan.

Tanpa bertanya pun Mahen sudah tahu, jika Bi Ami pasti baru saja pulang dari pasar.

"Aden kok ada dirumah? Den Reyhan sudah pulang ya, Den?" Tanyanya dengan semangat, Mahen menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Bi Ami dengan tatapan sendu.

"Belum, Bi. Reyhan belum pulang"

"Reyhan belum sadar, Bi. Dia masih koma sampai sekarang"

Setelah berkata demikian, Mahen yang masih menatap Bi Ami pun menundukkan kepalanya, dadanya kembali terasa sesak kala mengingat bagaimana keadaan Reyhan saat ini.
Ia bisa melihat raut wajah Bi Ami yang juga berubah drastis.

Perempuan berusia kepala empat itu, terlihat sama sedihnya dengan dirinya.

"Yang sabar ya, Den..." Setelah beberapa saat diam, Bi Ami kembali berucap. Mahen tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.

"Iya, Bi"

"Bibi bantu do'ain Reyhan ya Bi, biar Reyhan bisa cepet sembuh, biar bisa pulang kerumah lagi"

"Iya Den, pasti. Bibi pasti do'ain yang terbaik buat Den Reyhan" Bi Ami kembali tersenyum.

"Yaudah kalau gitu Mahen balik ke rumah sakit dulu ya, Bi"

"Iya. Hati-hati di jalan ya, Den"

Setelahnya, tidak ada percakapan lagi antara keduanya karena Mahen yang segera melangkahkan kakinya keluar dari rumah, begitu pula dengan Bi Ami yang kembali ke area dapur, untuk membereskan pekerjaannya.

Sesampainya di garasi, Mahen mulai memakai helm dan menaiki motor sportnya, ia membawa motor dengan alasan tidak ingin terlalu lama terjebak macet. Laki-laki itu sudah bersiap untuk menginjak pedal gas, namun niatnya harus ia urungkan karena ponselnya yang berdering.

Mahen melihat benda pipih berbentuk persegi panjang yang kini sudah berada di genggamannya, ia sedikit menetralkan detak jantungnya saat kedua netranya menangkap nama 'Kak Daniel' tertera di layar ponselnya.

"Halo, kak?"

"Lo dimana sekarang?"

"Masih dirumah. Kenapa? Mau nitip sesuatu?"

"Enggak. Buruan kesini nya"

Mahen merasa sedikit aneh saat Daniel mengatakan itu. Tetapi karena tidak ingin memperlambat waktu, Mahen pun memutuskan untuk menurut saja pada sang kakak.

"Oke, sepuluh menit lagi sampe"

Tut...

Mahen merasa semakin aneh saat Daniel tiba-tiba memutuskan panggilan telepon secara sepihak, karena yang Mahen tahu, Daniel bukanlah tipe seseorang yang seperti itu. Daniel yang baru saja meneleponnya, seperti sedang dilanda rasa panik. Namun karena lagi-lagi tidak ingin memperlambat waktu, Mahen pun segera menginjak pedal gas, dan melaju dengan cepat ke rumah sakit.

'Kok tiba-tiba gue kepikiran sama Reyhan, ya. Perasaan gue juga tiba-tiba nggak enak banget' Batinnya bergejolak.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang