Hospital

823 74 3
                                    

Reyhan menggenggam tangan Jevan dengan erat, jantungnya berdegup kencang saat kakinya sampai dihadapan sebuah ruangan milik dokter Sean, dokter pribadi yang sudah dipekerjakan oleh Daniel secara khusus untuk dirinya sedari dulu.

Hari ini Reyhan ada jadwal check up ke rumah sakit, untuk mengetahui perkembangan tubuhnya yang menurut Reyhan semakin hari semakin hm... parah.

Reyhan memang diharuskan untuk check up satu Minggu sekali, dan melakukan Kemoterapi atau cuci darah dua Minggu sekali.

Sakit, menurut Reyhan itu adalah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana rasanya menjadi seorang manusia seperti dirinya.

Tetapi Reyhan lagi-lagi hanya harus bersabar, dan ikhlas atas semua kehendak yang Tuhan berikan.

"Kenapa? Gugup, ya? " Menyadari bahwa tubuh kecil disampingnya sedikit bergetar, Jevan segera membawa Reyhan kedalam dekapannya, dan mengusap punggung Reyhan yang terasa semakin rapuh.

Dan benar saja, sedetik setelah berada didalam dekapan Jevan, Reyhan mulai meneteskan air matanya.

Jika saja Reyhan boleh jujur, ia saat ini merasa sangat takut. Ia merasa tidak siap untuk melakukan hal itu, karena bukan saat melaksanakan saja, bahkan efek samping dari kemoterapi yang ia lakukan akan sangat menyiksa dan juga menyakitkan bagi dirinya.

Walaupun Reyhan sudah melakukan kemoterapi secara berulang-ulang kali, tetap saja rasa takut dan gugup itu tidak mau hilang.

Reyhan tidak akan pernah bisa melupakan rasa sakit akibat kemoterapi, dan menurutnya ia tidak akan pernah terbiasa oleh rasa sakit itu, sampai kapan pun.

"Ta-kut Van..." lirih Reyhan sembari menenggelamkan wajahnya pada dada Jevan yang bidang. Walaupun hal itu tidak bisa mengurangi rasa takutnya, setidaknya Reyhan merasakan kehangatan.

"Sstt, kenapa takut? Kan ada gue" ucap Jevan lembut, tangannya tidak berhenti mengusap punggung serta kepala bagian belakang Reyhan.

Jevan kini nampak seperti seorang ibu yang tengah menenangkan anak laki-lakinya.

Tetapi Jevan tidak merasa malu ataupun jijik sedikitpun, karena Jevan sudah sangat hafal dan juga sudah sangat sering mengantarkan Reyhan keluar-masuk ke rumah sakit ini.

Bahkan Jevan merasa sangat bersyukur, karena dirinya masih diberi kesempatan untuk menemani Reyhan.

Menemani Reyhan dalam memperjuangkan hidupnya.

"Udah cup cup cup. Jangan nangis lagi, ya?"

Reyhan melepaskan pelukannya, ia sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Jevan, lalu menganggukkan kepalanya pelan.

Jevan mengusap air mata yang masih berlinang di mata Reyhan yang indah, lalu tersenyum.

Reyhan dan juga Jevan melihat seorang laki-laki setengah baya yang keluar dari sebuah ruangan, itu adalah dokter Sean. Sepertinya beliau baru selesai menangani pasien lain.

"Eh anak ganteng sudah datang, sudah lama nunggu disini?" Tanyanya dengan ramah.

"Hmm belum dok, sekitar sepuluh menit yang lalu" jawab Jevan apa adanya.

Dokter Sean mengangguk dan tersenyum, setelah itu dokter Sean mempersilahkan Reyhan masuk, sedangkan Jevan menunggu diluar karena Reyhan akan menjalani beberapa tes kesehatan terlebih dahulu sebelum melakukan cuci darah.

"Gue tunggu disini, ya! Jangan takut, dokter Sean nggak akan apa-apain lo, kok"

"Kalau di apa-apain sama dokter Sean, bilang aja sama gue. Oke?!" Reyhan menganggukkan kepalanya, kedua matanya masih sedikit bengkak karena menangis, Jevan terkekeh kecil lalu mengusap bahu Reyhan.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang