"Adek..."
"Maafin kakak ya, dek"
"Maafin kakak yang selama ini selalu jahat sama adek. Kakak bahkan belum nebus semua kesalahan kakak, tapi kenapa adek ninggalin kakak secepat ini? Kakak terlalu jahat ya, dek? Bahkan untuk menebus kesalahan kakak sendiri?" Daniel mengusap bahu Mahen yang sedari tadi tak berhenti bermonolog sembari mengusap batu nisan dihadapannya. Langit sudah semakin mendung, namun laki-laki yang usianya lebih muda lima tahun dari dirinya itu seolah tak mau meninggalkan tempat ini.
"Kakak salah, dek. Andai aja kakak nggak ngajak kamu keluar dari rumah sakit kemarin, kamu nggak akan kecapean, kamu nggak harus nahan diri buat nggak keliatan kalau lagi nahan sakit, kamu juga nggak harus masang senyum palsu disaat tubuh kamu lagi sakit semua"
"Maafin kakak ya, dek. Maaf..."
Daniel mengusap air mata yang kembali membasahi pipinya.
"Mahen..."
"Kamu nggak salah, dek. Nggak ada yang salah disini. Kita nggak tau kalau semuanya bakal jadi kaya gini, kan? Kita juga nggak tau, kalau ternyata Reyhan cuma pura-pura sehat, biar bisa jalan-jalan bareng sama kita"
"Walaupun akhirnya kaya gini, seenggaknya kita udah memenuhi keinginan terakhir Reyhan, walaupun dengan sederhana. Kamu liat sendiri, kan, senyuman dia selama kita jalan-jalan kemarin?"
"Senyum itu bukan senyum pura-pura, dek. Mungkin Reyhan emang udah kerasa dari kemarin-kemarin, makanya walaupun belum sembuh dia nekat minta jalan-jalan sama kita, dan bikin alibi kalau dia bosan didalam ruangan. Kita nggak tau, apa aja yang Reyhan rasain selama ini. Kakak yakin, adek kita pasti bakalan seneng, karena kita udah nyoba buat ngelakuin apapun yang dia minta, walaupun nggak sesuai dengan ekspektasinya"
"Tapi, kak... Kalau aja kemarin Mahen nggak maksa kakak buat minta izin ke dokter Sean, Reyhan nggak akan bisa keluar dari rumah sakit, dia juga nggak akan kaya gini... Mahen salah, kak... Mahen yang udah bikin Reyhan jadi kaya gini... Mahen bodoh, maafin Mahen..." Air mata Mahen turun semakin deras.
"Nggak, nggak ada yang salah disini. Mahen nggak salah, ini semua memang sudah kehendak Tuhan. Mau nggak mau kita harus terima. Walaupun rasanya nggak enak dan sakit banget, tapi kita bisa apa? Kita cuma bisa ngikutin alur yang dibuat oleh-Nya"
"Jadi, stop bilang kaya gitu, ya? Sekali lagi kakak tegaskan, Mahen nggak ada sangkut pautnya sama kejadian ini. Mahen nggak salah, nggak ada yang salah disini. Ini semua memang sudah menjadi takdir Tuhan untuk adik kita. Sekarang kamu berhenti nangis, biarin Reyhan tenang disana. Kakak mohon, ya, dek?"
Mahen menatap Daniel, ia semakin menangis saat mendengar perkataan Daniel yang terdengar sangat bijaksana. Mahen memeluk tubuh Daniel dan menangis keras didalam dekapan kakak sulungnya, yang dilakukan oleh Mahen saat ini merupakan salah satu hal yang pertama kali Daniel lihat. Dimana tubuh kekar yang biasanya bersikap angkuh dan egois itu bergetar hebat karena tangisannya, pun dengan kedua netra yang biasanya terlihat sangat dingin dan tegas itu, kini telah berubah menjadi netra yang sendu dan bergetar. Hati Mahen saat ini terasa sangat hancur, dan rasa itu tidak akan bisa digambarkan oleh kata-kata apapun.
Daniel hanya diam, mengusap air mata yang masih saja mengalir di wajah tampan sang adik, dan mengusap pelan punggung tegap Mahen yang bergetar.
Setelah dirasa cukup tenang, Daniel mulai melepaskan dekapannya dengan pelan, ia merapikan rambut Mahen yang sudah sangat berantakan. Namun alih-alih terlihat jelek dan dekil, adiknya itu malah terlihat semakin tampan dengan rambut berantakan serta mata sembabnya.
"Kita pulang, yuk? Udah mulai gerimis" Mahen diam, tidak menjawab sepatah katapun.
"Mahen... Ayo dek, hujannya makin deras---"
"Adek, kakak pamit pulang dulu, ya. Hujannya mulai deras. Adek hati-hati disana, sampai-in salam kakak ke Ayah sama Bunda, ya? Kalian udah bareng-bareng kan, disana?"
"Adek udah nggak sakit lagi kan, sekarang? Jadi adek harus bahagia selalu, ya? Jangan sedih-sedih lagi. Maaf, selama ini kakak belum bisa jadi kakak yang baik buat adek. See you in another life, sayangnya kakak..." Mahen kembali mengusap air matanya yang masih saja mengalir, ia mencium batu nisan dihadapannya dengan lembut, dan tersenyum tipis saat semilir angin menerpa tubuhnya. Angin semilir yang baru saja menerpa tubuhnya itu terasa hangat dan nyaman, rasa yang sama seperti ketika Reyhan sedang memeluknya.
_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
REYHAN [END]
General Fiction[Brothership not BxB] Kisah seorang Reyhan Jean Nugraha yang berusaha untuk mendapatkan kasih sayang dari sang kakak, Mahen Desta Nugraha. Huang Renjun as Reyhan Mark Lee as Mahen Lee Jeno as Jevano