Why?

412 29 0
                                    

Jam di layar ponsel Mahen menunjukkan pukul setengah dua belas malam, sudah cukup larut tetapi hal itu tidak membuat kedua netra Mahen maupun Daniel merasakan kantuk.

Dengan nafas yang memburu, kedua laki-laki itu mencoba untuk tetap waras dan tetap sadar disaat keadaan tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Didalam sana, didalam ruangan VVIP yang sudah hampir satu bulan ditempati oleh adik bungsu mereka, tepat pada pukul sebelas malam, ruangan itu kembali meluapkan suasana yang mencekam dan menegangkan, karena adik kesayangan mereka yang harus kembali memperjuangkan hidupnya.

Karena setelah menghabiskan waktu selama hampir lima jam di luar ruangan dan bersenang-senang bersama kedua kakaknya, keadaan Reyhan kembali memburuk. Remaja laki-laki itu kembali mengalami kejang dan sesak nafas. Belum lagi suhu tubuhnya yang meningkat. Hal ini memang tidak sekali dua kali terjadi, tetapi entah mengapa yang terjadi saat ini terasa seperti tidak biasa.

Entah apa penyebabnya, namun perasaan Mahen sekarang benar-benar tidak bisa di deskripsikan. Takut, khawatir, sedih, dan panik bercampur menjadi satu.
Dan entah mengapa, setelah melihat sang adik yang kembali kambuh, Mahen merasa seperti kehilangan.

Dan rasa kehilangan itu adalah rasa yang sama, yang ia rasakan ketika Ayah dan Bunda memilih untuk meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

Mahen menatap kosong ubin lantai yang ada dibawahnya, pikirannya sangat kalut dan panik, laki-laki berusia dua puluh tahun itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak yang bahkan sudah menyerangnya sedari tadi.

Mahen khawatir, Mahen takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi jika sang adik harus kembali merasakan sakit itu. Mahen tidak kuat, ia tidak tega jika harus menyaksikan adik kecilnya berjuang terus-menerus, tanpa adanya kepastian.

Air mata Mahen turun tanpa harus disuruh, semakin lama semakin deras, isakan pun keluar dari belah bibirnya.

Daniel yang mendengarnya pun tak kuasa melihatnya, ia menghampiri tubuh Mahen yang duduk di kursi tunggu, dan memeluknya untuk memberikan ketenangan.

"Adek, kenapa nangis?" Tanyanya dengan lembut. Walaupun Mahen sudah berusia dua puluh tahun, tetap saja di mata Daniel Mahen adalah adik kecil yang dulu hanya menunjukkan ekspresi datar ketika bersama dengan saudara-saudaranya. Dan cara pandang itu, tidak akan berubah bahkan sampai dirinya menua dan beruban.

"Reyhan, kak..." Jawab Mahen yang kini mulai menangis tersedu.

"Ke-kenapa dia nggak sembuh-sembuh?"

"Kenapa dunia nggak adil banget sama adik kita?"

"Reyhan itu anak baik, dia nggak pernah nakal, kak. Tapi kenapa dia terus-terusan kaya gini?"

"Ke-kenapa dunia ini jahat banget sama dia, kak? Kenapa?"

Mendengar sang adik yang mulai meracau, Daniel hanya menghela nafas panjang. Lagi-lagi, ia harus berusaha untuk tetap tegar dan kuat agar Mahen tidak semakin kalut.

"Ssst, adek, dengerin kakak. Adek nggak boleh ngomong kaya gitu..."

"Reyhan itu kuat, kakak yakin, dia pasti bisa melewati ini semua. Nggak satu dua kali kan, Reyhan harus ngalamin kaya gini, dan walaupun harus ngerasain sakit, Reyhan masih tetep kuat. Jadi, Mahen harus tenang, Mahen harus percaya kalau adek kita pasti bisa ngelewatin ini semua. Oke?"

"Ta-tapi, kak, Mahen nggak kuat kalau harus lihat Reyhan kaya gitu terus, kak... Mahen nggak te-ga"

"Yes, I see. Kakak ngerti apa yang sedang Mahen rasain sekarang ini, kakak ngerti, kok, kakak paham banget. Tapi kakak mohon, Mahen harus tetap kuat, ya? Demi adik kita yang sedang berjuang didalam sana..."

"Untuk sekarang, yang bisa kita lakuin cuma berada di sisi Reyhan. Kita do'ain aja, ya, semua yang terbaik buat Reyhan. Kita do'ain, semoga Reyhan baik-baik aja, dan semuanya bisa segera terlewati"

Daniel tidak mendapatkan jawaban, hanya anggukan kecil yang ia terima dari sang adik yang masih terisak didalam pelukannya.

Daniel diam, tidak berkata apapun, namun masih tetap mendekap erat tubuh Mahen.

'Tuhan, keinginanku saat ini hanya satu, tolong sembuhkanlah adik bungsuku...' Ucap Daniel didalam hati, seraya memejamkan kedua matanya yang terasa memanas.

Tidak ada seorang kakak yang akan tega ketika harus melihat adiknya sedang kesakitan, tidak ada seorang kakak yang rela jika adiknya terus-menerus tersakiti, dan tidak ada satupun seorang kakak di dunia ini yang akan baik-baik saja, disaat adiknya harus berjuang hanya sekedar untuk menginjakkan kakinya di bumi ini dalam waktu yang lebih lama.

Begitu pula dengan Daniel dan Mahen, mereka berdua adalah seorang kakak, mereka berdua pasti merasa tidak tega dan tidak rela ketika melihat Reyhan yang harus mengalami hal seperti ini secara berulangkali. Hati mereka terasa hancur dan remuk ketika melihat Reyhan yang bahkan harus bergantung pada peralatan medis, hanya untuk sekedar bisa menghirup udara segar. Walaupun Mahen pernah bersikap buruk kepada Reyhan, namun hal itu sudah menjadi masa lalu, kan? Mahen yang sekarang sudah berubah, bahkan sangat berubah, setelah menyadari bahwa semua yang ia lakukan di masa lalu adalah hal yang buruk dan sangat tidak pantas untuk di banggakan, atau bahkan di kenang oleh memori kehidupan yang ada di otak.

REYHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang