7. Jeno

179 16 3
                                    

Jeno memasuki perkarangan rumah dan menemukan satu mobil hitam yang terparkir rapi di halaman.

Ia hanya menatap malas dan berjalan memasuki rumah. Baru saja pintu rumah terbuka, di ruang tengah sudah ada sang ayah yang sedang bercumbu panas dengan wanita malam.

Ia adalah seorang piatu, ibunya telah tiada sejak Jeno berumur tujuh tahun dan belum sebulan semenjak pemakaman ibunya. Ayah Jeno kembali menikah dengan seorang wanita yang tidak jauh berbeda dari ayahnya.

Sang ayah hanya akan pulang untuk bermain dengan wanita malam, setelahnya ia akan kembali ke rumah baru tempat Ia dan istri keduanya tinggal. Jeno tidak akan membiarkan sang ayah bermain di kamar utama tempat terakhir sang ibu, Jeno akan menolak keduanya agar masuk ke kamar tamu.

"Siap bermain denganku, baby?"

"Yes, master."

"Master-master, geli anjing! Master limbad noh!" Batin Jeno.

Wanita tadi menoleh pada Jeno, "dia siapa mas? Tubuhnya bagus juga, ajak bergabung saja."

"Apapun untukmu."

"PALA BAPAK KAO LAH, AING MAUNG."

Jeno berlari terbirit ke kamar nya. Pintu tertutup dan Jeno dapat bernafas lega. Ia memilih untuk mandi terlebih dahulu.

20 menit Jeno mandi dan Ia sudah mengenakan kaos oblong dan celana pendek.

"Minum ah" Jeno berjalan santai kearah dapur hingga telinganya menangkap suara-suara Laknat. Dia tidak mempermasalahkan suara itu, tapi dari mana itu berasal yang membuat Jeno panik.

Ia segera membuka pintu kamar utama dan menemukan ayah dan wanita malam tadi.

Tanganya mengepal, Jeno berjalan mendekat dan langsung menarik tangan wanita tadi agar keluar dari kamar ibunya.

"APA YANG KAU LAKUKAN JENO?!" Sang ayah berteriak marah.

"Sudah berapa kali kubilang agar tidak melakukan hal kotor itu di kamar ini" ucap Jeno datar.

Sang ayah berdecih, "ini juga kamarku brengsek!"

"Brengsek? Sepertinya itu lebih cocok denganmu!"

Bugh

Jeno terhuyung kebelakang, sang ayah dengan perasaan marah pun pergi meninggalkan kamar itu.

Hening, Jeno memperhatikan sekeliling kamar yang berantakan. Ia lebih memilih untuk membersihkanya.

Jeno mengganti sprei tadi dengan yang baru dan membuang bekasnya. Ia menyapu sedikit kamar itu hingga semuanya selesai.

Tatapan Jeno terfokus pada satu foto berukuran besar yang ditutupi dengan kain hitam.

Tanganya terulur untuk membuka kain itu. Disana ada sebuah keluarga kecil yang sedang tersenyum lebar sampai-sampai tidak memikirkan jika akhirnya akan seperti ini.

Matanya mulai berair ketika melihat senyum wanita yang sangat ia sayangi melebihi apapun.

Bahunya bergetar, "bunda ..."

Memorinya mulai berputar ketika ia sedang berbincang dengan sang ibu.

Seorang anak kecil dengan senyum sabit itu menghampiri ibunya. Ia menepuk pelan celananya karena terjatuh tadi.

"Bunda bunda!" Panggilnya girang.

"Jeno gapapa, hm? Ada yang sakit?" Tanya Bunda.

"Gapapa bunda! Eno gamau nangis soalnya nanti jadi cewe!"

Bunda tersenyum lembut, "siapa bilang kalo cowo nangis nanti malah jadi cewe?"

Dengan terbata Jeno menjawab, "k-kan anak cowo gaboleh nangis bunda" lirihnya.

"Jeno, laki-laki itu boleh nangis, gaada aturan yang membuat mereka gaboleh nangis. Tapi setelah itu berjanji agar menjadi lebih kuat dari yang sebelumnya. Bukan janji sama bunda, tapi sama diri sendiri."

Dengan mata berkaca Jeno mengulurkan tanganya agar digendong, "Bundaa huee kaki Eno sakit bundaa."

"Sini bunda tiup."

Ia tersenyum getir sambil mengusap air matanya, "Jeno janji bakal lebih kuat lagi kok bun."

"Jadi jangan marah sama Jeno ya?" Ia tersenyum sampai matanya juga ikut membentuk sabit. Jeno itu anak kuat.



____________________________

Sampe sini aja dulu.

Btw, makasih yang udah mau baca.

Dahhh~~~

MANUSIA SQ [00l] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang