08

218 13 1
                                    

Herjunot Ali.

Bukan, dia bukan seorang aktor terkenal. Tapi dia adalah Ali—pria berkacamata itu menjadi orang kepercayaan Ken dan mengabdi selama delapan tahun. Bermula ketika Ali mengunjungi Bu Yana--Ibu Ali tengah bekerja sebagai asisten rumah tangga ke rumah Ken.

Saat itu bukan pertama kalinya Ali bertemu Ken. Sebelumnya sudah beberapa kali. Tapi Ali dan Ken jarang berinteraksi. Hanya bertegur sapa saja. Sampai Ken tahu posisinya Ali mau lulus sekolah. Lalu Ken mulai banyak mengajaknya berbicara.

Sampai di mana Ken menawarkannya sebuah pekerjaan.

Dan saat Ali mengiyakan penawaran itu, Ali pikir ia akan bekerja sebagai karyawan kantoran. Yang kiranya Ali tahu, Ken adalah seorang pemimpin di sebuah kantor franschise broker. Rumah yang Ken tinggali sekarang adalah salah satu proyek pekerjaannya. Walau sebenarnya Ken tidak bekerja di perusahaan developer. Infonya dana pribadi Ken ia kembangkan membangun mini cluster bersama rekan dekatnya.

Ali bingung awalnya ketika pekerjaan yang Ali harapkan bukanlah bekerja di sebuah kantor. Atau minimal ia menjadi seorang OB di kantor, tidak. Semua pakaian yang Ali kenakan selalu baru. Pemberian Ken. Dan Ken meminta Ali mengenakannya disaat ia bersama Ken. Tapi pakaian baru itu tidak membawanya ke sebuah perusahaan. Ken justru membawanya ke manapun ia pergi. Tapi bukan pula mengurusi soal pekerjaan pada umumnya.

Sampai Ali sadar bahwa Ken memperkenalkannya ke pekerjaan dan dunia yang cukup gelap. Tidak, Ken bukan seorang pembunuh. Meski pada akhirnya Ali terpaksa membunuh banyak orang demi memyelamatkan diri. Ken juga bukan seorang pengedar obat terlarang, meski Ali sudah terbiasa melihat obat-obatan tersebut. Dan Ken bukanlah pengedar senjata ilegal, meski sekarang Ali punya banyak senjata sekaligus pandai memakainya. Dan Ken bukanlah penipu ulung, meski Ali tidak tahu dari mana banyaknya uang yang Ken miliki.

Mafia? Ali rasa juga bukan. Selama mengabdi, Ali tidak pernah melihat Ken berurusan serius sama aparat. Melainkan sebaliknya. Hubungan Ken sama Aparat baik. Terlihat baik-baik saja. Banyaknya Ali membunuh orang pun juga tidak menyeret Ali sebagai buronan.

Kalau ditanya, Ali juga belum paham nama pekerjaan apa yang cocok untuk bisa ia katakan.

Hentakan sepatu pantopel hitamnya nyaring berbenturan lantai beraksen mewah. Melangkah lebar dan cepat menuju sebuah pintu diujung koridor di lantai dua.

Ali menarik tuas pintu, disapa dengan aroma dingin bercampur kopi yang menjadi ruangan kesayangan majikannya—Ken.

Warna coklat dan krim mendonasi. Terdapat perlengkapan ruangan yang mendukung betapa dinginnya ruangannya tersebut; meja kerja dan kursi panas dengan kualitas bahan terbaik, satu set sofa abu-abu dan meja kaca, dan satu set studio kecil yang berisi perlengkapan gaming di sudut ruangan.

Ali kembali melangkah mendekati meja, mencari sesuatu di laci meja lalu membawanya keluar. Sebuah kotak besar berada di dekapan Ali. Lalu beralih ke sebuah ruangan di lantai satu. Menemukan tiga orang yang sedang sibuk berseru kasar sambil menekan tombol konsol menatap games yang mereka mainkan.

Hentakan sepatu Ali tak menyadarkan mereka akan kehadiran seseorang. Bagi mereka, berhasil membunuh semua zombie di games mereka kali ini dengan score yang lebih tinggi diantara satu sama lain adalah keinginan yang menggebu-gebu.

"Ah, kalah!" Salah satu dari mereka membuang konsolnya. Dua diantaranya berseru senang dan menepuk tangan sebagai tanda kemenangan mereka.

"Sudah selesai mainnya?" Suara Ali menyadarkan mereka hingga mereka menoleh. Games langsung dimatikan dan mereka segera membenarkan posisi duduk.

Ali mendekat dan meletakkan kotak besar itu di atas meja, di depan mereka yang menyaksikan dalam diam. Lalu Ali membuka kotak itu. Aroma senjata baru menyapa indera penciuman. Terlihat sangat mewah bagi mereka yang menyukai benda dingin mematikan tersebut.

Taste RelieverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang