24

207 12 5
                                    

Malam yang dingin terasa hangat bagi Ella. Duduk termenung di dekat perapian, menggenggam segelas susu coklat panas yang telah disediakan Ali, ditambah rengkuhan lengan Ken yang melilit tubuh kecil Ella menambah kehangatan di sana.

Pria itu sudah terlihat rapi dengan piyama biru tua panjang, duduk di sofa di dekat perapian dengan segelas teh melati di meja tepat di samping Ken. Tak lama Ella datang dengan piyama merah dan Ken menyambutnya dengan tepukan lembut di pangkal pahanya—meminta Ella mendekat dan duduk di paha itu.

Tanpa berpikir panjang Ella menolak keras dan beralih ke sofa lain untuk Ella duduki, tapi gerakan Ken begitu cepat sehingga Ella terhuyung dan berakhir duduk di pangkuan Ken.

Awalnya Ella berontak sampai Ali datang dan memberikan segelas susu coklat panas dan kudapan ringan di dekat mereka. Ella mendadak kikuk dan berakhir mereka termenung menikmati perapian.

Tubuh Ella kian menegang disaat Ken mengeratkan pelukan di pinggangnya. Ella tak mampu bergerak sedikitpun. Pikirannya berubah ke mana-mana di mana posisi duduknya mulai terasa mengganjal.

"Jadi, kamu ke mana saja selama ini?" akhirnya Ken membuka obrolan mereka setelah cukup lama mereka terdiam.

"Aku yang harus menanyakan itu padamu," Ella mengatakannya dengan ketus, teringat betapa lamanya pria itu menghilang tanpa Ella ketahui sehingga wanita itu pergi dan menjalani beberapa hari yang cukup membingungkan.

"Kau ke mana saja selama ini?"

Pertanyaan Ella belum sedikitpun digubris Ken, justru pria itu mengeratkan pelukannya lagi sambil menghirup dalam punggung Ella yang dilapisi piyama tipis.

Kegiatan intim itu memancing perasaan yang campur aduk. Ella tak kuasa menggigit bibir bawahnya. Hirupan Ken begitu dalam sampai Ella bergidik. Dan hembusan hangat pria itu menerpa lapisan tipis piyamanya membuat Ella menggigil dan resah.

"Kamu rindu padaku?"

Perkataan Ken bukanlah jawaban. Seharusnya Ella menyemburkan kekesalannya, tapi Ella merasa wajahnya panas. Seharusnya Ella tinggal mengatakan tidak, tapi entah kenapa lidahnya kelu, Ella justru menunduk sambil mencari jawaban lain selain kata tidak.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku." Ella mengatakan itu setelah ia mendongak dan menatap perapian. Api berkobar tinggi membakar kayu di sana. Menerangi dan menghangatkan ruangan.

Namun kobaran api tersebut tak mampu menyusutkan rasa menggigil Ella saat ini. Lengan Ken tak bergerak sedikitpun, selain mengeratkan Ella ke dalam pelukannya.

Ella kini mulai merasakan adanya pergerakan lain, tapi bukan pada lengan di pinggangnya.

Kini bahunya berat sebelah. Ken menopang dagunya di sana, mendekatkan wajahnya tepat ke sisi wajah Ella.

Terlalu dekat. Debaran jantung Ella mulai tak beraturan. Ini sudah tidak baik. Posisinya sudah tak lagi aman. Niatnya berkumpul untuk beranjak dan melesat pergi, tapi nyatanya Ella masih mematung di sana. Membiarkan Ken menatap sisi wajah Ella yang kini mulai memerah di antara cahaya dan kehangatan.

"Kalau rindu bilang aja."

Ken tidak berniat menggoda, tapi Ella menoleh dan memicing. Sekuat tenaga Ella meyakinkan dirinya bahwa pria ini sedang ngawur. Pria ini akan selalu seperti itu ketika Ella menuntut kesungguhan darinya.

Terkadang Ken terlihat baik. Terkadang Ken penuh perhatian. Terkadang Ken bisa brengsek. Pokoknya sesuka hati pria ini bertindak semaunya saja sampai Ella tak habis pikir sebenarnya apa niat Ken selama ini terhadapnya.

Tiba-tiba ia datang, tiba-tiba ia mendekat, dan tiba-tiba ia pergi dan menghilang. Dan itu membuat Ella kelimpungan dan kewalahan sekarang.

"Kalau aku bilang rindu padamu, apa kau akan peduli?"

Ella tahu seharusnya ia tak perlu mengatakan itu. Tapi Ella tak tahu mau mengatakan apa lagi. Ella hanya mencoba mengikuti isi hatinya dan melawan isi pikirannya yang mengatakan sebaliknya.

Ella ingin tahu apa yang pria ini lakukan jika ia mengatakan demikian.

Dan apapun jawaban pria itu, Ella tak mau memusingkannya. Sebab yang Ella tahu pria di hadapannya ini bukanlah pria berkomitmen. Komitmen? Ella tertawa dalam hati. Membodohi yang baru saja ia spekulasikan tentang pria di hadapannya dengan kata komitmen.

Ella, yang benar saja!

Dan kalaupun Ella asal menyebut kata rindu pun seperti tadi, itu tidak akan mengubah cara pandang Ella terhadap Ken. Dari awal Ella mengenal Ken, Ken bukanlah pria yang dapat dikatakan baik. Di sisinya, tidak akan kata aman untuknya.

Dan bersamanya, Ella tidak mendapati kenyamanan.

Apa yang harus Ella harapkan? Oh—Ella seperti anak remaja yang sedang mengharapkan sebuah cinta pertama dari sosok yang salah.

Dan, lihat saja! Wajah Ken tak menunjukkan raut apapun selain menatap Ella. Entah apa yang Ken cari dari wajah Ella. Sungguh Ella juga tidak serius mengatakan hal tersebut padanya. Anggap saja Ella sedang mempermainkannya. Ucapan iseng. Ken juga suka seperti itu padanya.

Tidak ada keseriusan di antara mereka.

Ken mendekat lalu membisikkan sesuatu. Membisikkan kalimat yang sekarang membuat Ella tak mampu lagi mengumpulkan niatnya untuk kabur dari singgah sananya.

"Aku peduli,"

Itu...bukanlah jawaban yang Ella mau...sebenarnya. Jawaban itu kini terasa menyesakkan dada. Entah apa maksud reaksi tubuh Ella kali ini karena tubuhnya kian membeku disaat Ken menjauhkan gelas digenggaman Ella lalu perlahan mengarahkan tubuh Ella agar berhadapan.

Dan tak hanya itu, satu lengan Ken kini meraih dagu Ella sambil bibirnya berbisik kembali.

"Dan aku tidak punya alasan lagi untuk pergi lagi, karena merindukan mu membuat ku hampir gila."

Apa yang dikatakan Ken mau tak mau Ella terima, sebab ciuman yang Ken berikan adalah bentuk rasa haus akan kerinduannya.

Di antara sentuhan dan kehangatan yang membara Ella menerima ciuman itu dan tak kalah membalasnya setimpal. Mungkin sebentar lagi Ella juga akan merasa gila.

Entah karena ciuman memabukkan itu atau rasa lambung yang menyeruak di dalam dirinya. 

Taste RelieverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang