Amos Joachim--nama yang unik untuk seorang kepala preman yang biasa dipanggil Bang Bob. Ia tidak pernah mengira bahwa nama itu akan melekat pada jati dirinya saat ini.
Duduk tegap diantara para anak buahnya. Kali ini pakaian yang dikenakan bukanlah pakaian urakan yang biasanya ia kenakan ketika ia turun ke jalanan. Kini ia merelakan tubuh tegapnya panas karena mengenakan kemeja panjang dan celana bahan tebal. Bahkan Bob terpaksa mengenakan sepatu pantopel mengkilap.
Ini bukan gayanya. Tapi ia harus melakukan itu, hanya demi menemui seseorang yang selama ini menjadi bayangan semasa ia menjabat sebagai kepala preman.
Bahunya yang melemas kini berubah kaku ketika pintu kokoh di depannya terbuka lebar. Muncul beberapa orang memasuki ruangan mininalis beraroma lavender, kemudian seseorang muncul dengan gagahnya melangkah masuk dan mengitari ruangan.
Ia berdiri di samping kursi Bob, lalu duduk dengan gaya pongah setelah ia mengibaskan jas kebesaran yang membalut punggung tegap yang sempurna.
Ah, dia mirip sekali dengan orang itu.
"Senang bertemu dengan anda lagi." Sapa Bob sehangat mungkin, walau percuma karena lawan bicaranya tak merubah ekspresi pongahnya.
"Katakan maksud pertemuanmu, Bob." Ujarnya singkat.
"Jangan terburu-buru. Lo baru aja tiba di Indo, Tuan besar. Chill."
Bob tersenyum sambil memberi isyarat anak buahnya untuk menyediakan kudapan di atas meja. Tidak banyak yang disuguhkan, hanya sebotol wine dan dua gelas menemani percakapan mereka malam ini.
Bob meraih gelasnya dan menyesap wine itu. Sementara lawan bicaranya hanya diam dan menunggu Bob membuka pembicaraan yang ia tunggu setelah acara pertemuan ditentukan.
"Kudengar kau berselisih lagi dengan Tombak Api." Tuan besar itu membuka pembicaraan. Ia tidak sabar. Bob terlalu membuang waktu sehingga ia harus mengatakannya lebih dulu.
"Seperti biasa, kesalah pahaman sulit dihindari," Bob menjelaskan akar masalah tersebut.
"Ditambah mereka sulit menerima akan pembagian wilayah yang padahal ketua mereka sendiri yang menentukan batas teritori mereka. Ada yang kecewa dan akhirnya memutuskan untuk keluar, tapi ada juga yang masih bertahan."
"Dia menyempit wilayah buat apa?" Tuan besar memgerutkan dahi. Untuk pembagian wilayah, ia baru mendengar itu.
Bob meletakkan gelas wine nya sebelum menjawab, "menurut gue, dia berencana mau turun tahta pelan-pelan."
Jawaban itu cukup menyita perhatian semua orang di dalam ruangan. Seketika hening. Bahkan mereka yang mendengar itu sempat menahan napas masing-masing seperdemikian detik.
"Pengamatanmu jauh dari perkiraan."
"Gue emang nggak deket sama Angger," kini Bob menyalakan rokoknya disela jari. "Tapi gue paham gerak-geriknya. Gelagatnya mau mundur. Cuma gue belum nemu kenapa dia begitu."
"Begitu rupanya," Tuan besar mengangguk, walau ia belum menemukan titik terang dari penjelasan Bob, "apa ini ada kaitannya sama kejadian di Singapur?"
"Mungkin bisa dibilang begitu. Yang di Singapur, gue murni ngincar Ken. Lo tau gue dendam kesumat sama dia. Lalu grup Angger turun bantu dia. Nggak kaget kalau Angger tiba-tiba muncul." Bob tertawa singkat. "Lagi-lagi nasib baik berpihak padanya."
Tuan besar merebahkan punggungnya ke senderan kursi, "kalau gitu kau hancurkan saja Tombak Api sampai ke akarnya. Bukankah hal itu mudah kau lakukan?" Kali ini Tuan besar meraih gelas wine nya lalu menyesapnya pelan-pelan.
![](https://img.wattpad.com/cover/351758480-288-k132033.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Taste Reliever
RomanceImpian pernikahan yang Ella idamkan di umur 35 tahun ini harus kandas karena sang kekasih berselingkuh. Setelah putus, Ella bingung sampai frustasi bagaimana ia harus menceritakan akhir kisah cintanya kepada sang Ibu--yang selalu menuntut Ella untuk...