Di sepanjang perjalanan Ella hanya terdiam. Membiarkan angin malam yang begitu menusuk menerpa wajah. Terasa dingin dan datar.
"Nama gue Aisa," wanita di sampingnya memperkenalkan diri. Tidak ada jabat tangan diantara mereka. Hening kembali menyelimuti sesaat. Wanita bernama Aisa itu kembali sibuk menyetir mobilnya sendiri.
Mungkin Ella masih terkejut dengan semua yang menimpanya. Fajar mulai menyingsing dan Ella sangat kelelahan. Semua hal yang terjadi malam ini terasa lambat dan cepat.
"Lo nggak usah khawatirin Ken. Dia bakalan hidup." Aisa berujar lagi meski Ella masih belum berminat menanggapi.
Ah, iya, ia berpisah dengan Ken sejak Ella mengikuti Aisa ke mobil lain. Sementara Ken dibawa bersama pria kecil dan anak buahnya ke mobil satunya lagi. Sebelumnya Ella sempat menolak ikut ke mobil Aisa dan memilih ikut bersama Ken. Tapi pria kecil itu melarangnya. Ia menjamin bahwa tidak akan terjadi apapun apabila Ella bersama Aisa dan Ken bersamanya.
Namun Ella masih belum bisa menerima itu.
Bagaimana tidak? Penampilan preman ini cukup mengintimidasi. Termasuk Aisa. Walau ia wanita, penampilannya tidak mencerminnkan bahwa Ella akan aman bersamanya. Apalagi Ella akan diantarkan ke markas mereka, kandang preman, teritori mereka. Tempat yang seharusnya tidak Ella datangi karena nantinya pasti posisinya akan semakin terintiminasi.
Ella juga tidak siap kalau ia ditanya-tanya seperti tersangka, terutama sama pria kecil nan judes itu.
"Yang pria kecil dan judes tadi—namanya Angger." Aisa seakan tahu kalau Ella memikirkan pria kecil itu. Meski ia tidak berminat mencari tahu namanya. Ella menoleh, mengerjap dan terkesiap.
"Dia tampangnya judes, tapi dia baik kok." Aisa cekikikan sesaat menjelaskan sosok Angger, "banyak yang bilang Angger begitu—judes dan ketus. Gue memaklumi kalau lo berpikiran tentang ketua kami kayak gitu."
Oh benar saja—pria kecil bernama Angger itu adalah ketua kelompok mereka. Ella langsung membuang napasnya berat.
"Kau—dan kalian, kenapa bisa kenal sama Ken?" cicit Ella mengudara. Aisa menoleh sekilas. Akhirnya Ella bersuara meski nadanya masih terdengar ragu dan gemetar.
"Lo kenapa bisa kenal sama Ken?"
Ella mengernyit, kenapa jadi balik bertanya, pikirnya.
"Gue bakal cerita kalau gue tau lebih dulu lo kenal Ken dari mana mulanya." Aisa menjelaskan kebingunan Ella.
"Untuk apa kau harus tau itu?"
"Biar gue bisa pilah mana yang harus gue ceritain mana yang nggak," Aisa mengendikkan bahu dan menatap ruas jalan. "Mau sedekat apa lo sama Ken, lo tetap orang asing bagi kami."
Ella mencerna ucapan Aisa. Ia jadi sadar apakah ia juga harus memilah saat menceritakan kisahnya ketika bertemu Ken?
Terlalu banyak pertimbangan, mobil Aisa memasuki pekarangan halaman yang sangat luas. Melewati pagar bergerigi dan menjulang tinggi. Mendominasi warna gelap memberi kesan dingin dan menyeramkan. Seperti rumah hantu.
Perlahan Aisa membelokkan mobilnya dan menyusuri pekarangan itu. Pekarangan ditumbuhi rumput dan kelakar liar cukup tinggi. Ella merinding melihat pemandangan itu. Takut tiba-tiba saja ular muncul atau binatang liar yang mengganggu keamanannya sendiri.
Tak jauh dari sana, rumah besar berlantai dua muncul. Rumah yang memiliki pilar tinggi dan besar itu tampak tak bersahabat. Juga terlihat beberapa preman berkumpul di halaman depan. Seakan sedang menyambut kedatangannya.
"Ayo masuk," mobil berhenti. Aisa keluar dari mobil dan disambut para preman itu.
Ella mendadak ragu keluar dari mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taste Reliever
RomanceImpian pernikahan yang Ella idamkan di umur 35 tahun ini harus kandas karena sang kekasih berselingkuh. Setelah putus, Ella bingung sampai frustasi bagaimana ia harus menceritakan akhir kisah cintanya kepada sang Ibu--yang selalu menuntut Ella untuk...