12. Dewa kematian

2.2K 133 0
                                    

"Gue tau, ini terdengar sangat-- mengejutkan." Rava tersenyum dan tertawa kecil. "Tapi, apa yang gue ungkapan tadi itu benar-benar serius. Lo pasti bertanya, sejak kapan gue menyukai lo?"

Sandra hanya terdiam, ia tak berani menatap pemuda yang sekarang duduk disamping dirinya. Sandra hanya bisa memainkan jari-jemarinya. Setelah ciuman tadi, selalu saja ada perasaan yang aneh pada dirinya. Mulut bisa saja menolak ungkapan cinta pemuda itu, tapi hati dan pikirannya berkata lain.

"Tidak ada kata dimana gue mulai menyukai lo dan mencintai lo. Mata lo yang membuat getaran aneh pada diri gue, berulang kali gue menepis rasa itu. Tapi rasanya semakin membesar hingga ingin meledak. Rasa untuk pertama kali bagi gue selama hidup ini. Milyaran orang yang hidup didunia ini, entah kenapa ada satu titik cahaya pada diri lo yang ingin gue miliki--" Rava menjeda perkataan dirinya.

Rava menangkup pipi kiri Sandra dan mengarahkan pada dirinya untuk saling memandangi satu sama lain. "Pertama kali juga, gue bisa mencintai seseorang begitu dalam seperti ini hanya untuk lo. Gue orangnya hanya mementingkan kebebasan tanpa mempedulikan kisah cinta yang terdengar omong kosong."

"Dan itu lo, sosok yang bisa meluluhkan hati gelap gue." Rava menyatukan kening mereka. Sandra memejamkan matanya, ia merasa terharu atas ungkapan dari pemuda coklat itu yang sialnya memiliki sikap mesum tingkat tinggi. Pemuda yang selalu buat dirinya emosi karena rasa iri.

"K-kenapa lo milih gue? Kenapa gak yang lain. Banyak di luar sana yang lebih baik dibandingkan gue. Rav, gue orang yang sama. Orang yang selalu bikin hidup lo sengsara karena iri." Kedua mata Sandra mulai berkaca-kaca.

"Gue iri karena lo bisa dimanja oleh ibu sendiri. Sedangkan gue? Gue dibenci dan diabaikan. Karna rasa iri ini, gue melampiaskan semuanya pada lo agar amarah pada diri gue lepas begitu saja," ungkap Sandra.

Rava tersenyum dengan tulus. "Keluarkan semuanya." Rava segera memeluk pemuda manis itu.

Sandra dalam diam mulai menitikkan airmata. Ia masih sadar dimana posisi tempat mereka sekarang: perpustakaan. "Gue benci, sangat membenci mereka. Sejak usia gue enam tahun, mereka mengadopsi seorang anak dan itu mengubah keadaan keluarga gue. M-mereka menjauhin gue, membenci gue, bahkan mereka tak segan-segan menyiksa anak sendiri secara fisik dan mental."

Tangan besar Rava mengusap surai si manis. Sandra masih menangis dalam diam agar tidak diketahui oleh yang lain. "Hiks, s-sejak itu. Gue sulit mempercayai mereka kembali, bahkan gue enggan berhubungan kembali dengan mereka. Tak peduli gue menjadi anak pembangkang bagi mereka, karena itulah gue setelah mendapatkan siksaan seperti itu."

"Sutt.. Sutt.. It's okay, ada gue disini," ucap Rava mencoba untuk menenangkan pemuda manisnya.

Sandra sedikit melonggarkan pelukan mereka. "M-maaf, maafin atas kelakuan gue dulu. Gue diliputi rasa iri dan benci hingga melampiaskan semua ini pada lo. Gue tau, kata maaf saja tak cukup. L-lo mau apa? Gue akan menuruti semuanya sebagai permintaan maaf dari lo."

Rava yang mendengar itu kesenangan. Ia tersenyum miring membuat Sandra merasakan perasaan tak enak. "Baik, lo ingin permintaan maaf gue kan? Ada syaratnya--- lo hanya perlu menjadi kekasih gue. Jika lo terima, semuanya imbas. Jika tidak, yasudah."

Sandra bingung. Tapi kali ini ia akan mengikuti kata hati dan pikirannya. "Baik-baik, gue terima," pungkas dirinya. Rava yang mendengarkan tersenyum penuh kebahagiaan.

"Lo milik gue sayang." Rava segera memeluk Sandra senang.

"Ck, lo nembak orang kagak ada romantisnya. Berasa kayak maksa banget," cibir Sandra dalam pelukan erat Rava.

Rava terkekeh. "Pulang nanti lo ikut gue oke." Rava mengusap kepala Sandra, ia mengecup beberapa kali kening kekasih barunya itu. Sedangkan Sandra? Jangan tanyakan, daritadi dia hanya bisa menahan detak jantungnya yang seakan ingin keluar.

𝐑𝐀𝐕𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀 - 𝑩𝒐𝒚'𝒔 𝑳𝒐𝒗𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang