16. Maaf

1.6K 125 4
                                    

"Bund, ada yang ingin Rava tanyakan."

Neolia, wanita itu sibuk mengurus desain butik miliknya di gazebo belakang rumah. Tapi ia simpan terlebih dahulu saat kedatangan si bungsu. Neolia menatap anaknya dengan lembut.

"Mau tanya apa?"

"Jawab jujur, apakah sudah lama Ayah seperti ini?" tanya Rava menatap Neolia intens.

"Maksud kamu? Sudah lama seperti apa?" Neolia bingung, apa yang ditanyakan putranya. Apakah— ini tidak mungkin. Tapi ucapan Rava membuat tubuh Neolia menegak.

"Selingkuh, sudah berapa lama? Kenapa Bunda tak marah saat memergoki Ayah dengan wanita lain? Kenapa Bunda tak marah? Kenapa membiarkan begitu saja?"

Neolia terdiam, ia memalingkan wajahnya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Ini masalah orangtua, kamu tak perlu ikut campur."

Perkataan Neolia dibalas oleh decihan aneh. "Rava tau, tapi melihat reaksi Bunda saat melihat Ayah tadi. Rava tak tega, Rava tau hati Bunda saat ini sedang sakit. Rava bisa merasakannya."

Neolia memejamkan matanya, ia kembali mengingat-ingat bayangan dimana suaminya bersama wanita lain. Kejadian ini sudah dari lama hingga sekarang. Neolia hanya bisa terdiam membiarkan itu semua, terutama rasa sesak di dadanya. Tanpa sadar air mata jatuh begitu saja.

Rava duduk disamping sang Bunda, ia membawa salah satu tangan Neolia untuk di genggam erat. "Bund, sejak kapan? Rava ingin tau, bisa saja itu memulihkan ingatan Rava. Bukannya Bunda ingin ingatan Rava kembali? Maka katakanlah."

Neolia menghempas tangan miliknya yang digenggam sang putra. "Diamlah Rava! Kenapa kamu mempermasalahkan hal ini! Ini tak ada sangkut pautnya dengan kembalinya ingatan kamu! Jangan ikut campur masalah orangtua!" Neolia tanpa sadar membentak anaknya itu membuat Rava terkejut.

"Baik," pungkas Rava dan berdiri. Pemuda itu menaruh sebuah paperbag di atas meja. "Buat Bunda, dan maaf." Setelah mengatakan itu Rava pergi meninggalkan kekosongan.

Neolia melirik paperbag itu. Ia terisak karena tersadar atas perkataan dirinya. "Maafin Bunda nak."

Rava menghela nafasnya setelah masuk rumah. Niatnya ingin menggali bukti tapi sulit. Saat dirinya akan masuk kamar, ia berpas-pas'an dengan Garen yang baru saja menuruni tangga.

"Baru pulang lo?" tanya pemuda itu.

"Keliatannya?" balas Rava dengan datar.

Garen berdecih sinis. "Semenjak lo pulang dari rumah sakit, sikap dan tingkah lo berubah. Sekarang keluyuran kayak orang kagak ada rumah, bikin masalah terus. Kagak capek apa?"

"Capek," Satu kata Rava yang keluar. "Sebenarnya gue capek, tapi mau gimana lagi. Tuhan masih membenci gue, karena itu dia mempertahankan gue didunia penuh kejam ini. Jika Tuhan mencintai gue, dari dulu gue dah mati," tutur Rava.

Rava terkekeh miris. "Gue rasanya ingin mati dari dulu. Tapi sialnya gue kejebak oleh takdir. Gue ingin memberontak, tapi percuma. Gue terima semuanya, mau itu takdir gue seperti apa nantinya."

Garen mematung, ia menatap Rava tak menyangka. Sedangkan pemuda itu tersenyum tipis dengan airmata yang mulai jatuh. Ini perasaan asli dari Ravangga, pemuda malang yang memiliki takdir buruk selama hidupnya.

"Haha, konyol sekali perkataan gue tadi." Rava tertawa hambar, ia menyeka air matanya. "Dahlah, gue ingin tidur. Bilang ke Bunda, gue gak bisa ikut makan malam bersama." Setelah mengatakan itu Rava masuk ke kamarnya.

Garen mencerna semua perkataan adiknya itu. Bayangan dimana ia selalu acuh pada adiknya, bayangan dimana ia melihat adiknya disiksa oleh segerombolan remaja dan memohon ampun, bayangan dimana senyuman ketulusan adiknya sebelum senyuman itu hilang tertiup angin.

𝐑𝐀𝐕𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀 - 𝑩𝒐𝒚'𝒔 𝑳𝒐𝒗𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang