19. Keluarga Giordino

1.8K 119 3
                                    

"Bawa balik tas gue sama Sandra. Nanti malam di ambil, gue saat ini ada urusan."

Dimas menggeram tertahan. Ia memasuki kasar buku-buku miliknya kedalam tas sambil menerima telepon temannya. "Sialan lo! Gue lagi kesusahan disini, sedangkan lo enak-enaknya berduaan. Emang laknat punya teman."

Rava hanya bisa tertawa ringan dari seberang sambungan telepon. "Kudu ikhlas dong, pahala lo makin meningkat. Kasihan catatan dosa lo menumpuk, jadi gue beri jutaan pahala untuk meringankan buku dosa lo."

"Bacot bangsat! Emang sialan lo! Lagian, kenapa kagak ajak-ajak gue sih bolos nya! Gue juga mau bolos disaat keadaan sedang rapuh, retak dan hancur berkeping-keping," ucap Dimas dramatis. Ia tak memedulikan untuk menjaga penampilan, karena suasana kelas sudah sepi.

"Alay lo, gitu aja dah lembek. Gue dong, banting sana-sini tapi berhasil. Kudu kuat macam besi agar tetap tegar walau hujan badai terus menerpa," cakap Rava.

"Terserah lo ege!"

"Haha! Entar gue beliin lo mekdi deh, sama boba mpok Lala samping toko buah sono," sodok Rava. Tentu saja Dimas yang mendengarnya terasa tergiur. Mana ada uang untuk membeli makanan mahal itu, malah tiap hari makan tempe sama tahu aja bersyukur.

"Oke deal, jangan lupa bunga dan pajak harus dibayar dengan lunas," ucap Dimas.

"Jhancok!"

Tut!

Dimas terkikik setelah memutuskan sambungan telepon sepihak olehnya. Ia terpaksa membawa dua tas milik kedua orang itu. Di letaknya depan belakang, sedangkan tas miliknya di sampingkan pada bahu kanan. Sudah seperti macam bocah pertualangan dia.

"Yok di obral, tas elite harga sulit," kata Dimas saat melewati beberapa murid yang masih nangkring di koridor.

"Cok, gue pulangnya naek apa? Motor kagak punya. Taksi jam segini udah pada narik, terus bis pasti dah lewat," gerutuk Dimas saat dirinya sudah berdiri di parkiran sekolah.

"Bareng gue."

Dimas berjengkit kaget, ia menatap sosok Garen yang berdiri disamping kanan dirinya. "Gak usah, gue bisa balik sendiri," tolaknya.

Dimas terkejut saat Garen secara tiba-tiba memberikan penawaran seperti ini. Biasanya dia langsung pergi begitu saja, tapi sekarang. Apa jangan-jangan karena ungkapan perasaan dirinya membuat Garen sadar? Dimas menggeleng kepalanya tak mungkin, pasalnya Garen sudah lama menyukai Sandra, bukan dirinya.

Dimas menghela nafasnya, ia berniat pergi dari sana dengan wajah lesunya. Tapi tiba-tiba tangan kanannya ditarik membuatnya tersentak hingga menabrak dada bidsng pemuda itu. Wajah Dimas seketika merona merah malu.

"Gue gak suka mengulangi kata kedua kalinya," ucap Garen dengan suara rendah membuat Dimas seketika mematung.

Dimas segera menjauh, ia menatap Garen yang sedikit tinggi darinya. Emang tidak adiknya, tidak kakaknya. Kenapa bisa memiliki tubuh begitu tinggi sih? Bahkan dirinya hanya se dada disaat berhadapan dengan Garen.

"U-udah gue bilang, kagak usah. Gue bisa balik sendiri kok," ujarnya.

"Balik bareng gue," tekan Garen dan secara tiba-tiba menarik Dimas menuju mobil miliknya.

"Eh eh! Ren, gue bisa sendiri cuk!"

"Gak ada penolakan atau bantahan!" Dimas hanya bisa merotasi bola matanya saat pemuda itu bersih keras pada dirinya.

Tapi ada perasaan senang juga jika Garen benar-benar sadar akan perasaan dirinya. Dengan begitu, perlahan. Garen akan melupakan Sandra dan mendekat kearah dirinya. Sebelum Garen menyukai Sandra, pemuda manis itu yang terlebih dahulu menyukai Garen sejak masa kanak-kanak. Dirinya kira hanya perasaan bocah yang bisa hilang kapan saja, tapi salah. Dia benar-benar menyukai dan mencintai Garen walau rahasia.

𝐑𝐀𝐕𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀 - 𝑩𝒐𝒚'𝒔 𝑳𝒐𝒗𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang