36. Zalica ngajak ribut

861 73 1
                                    

Seni lukis dan merakit barang bekas adalah sebuah hobi bagi Garendra. Dengan otak pintar selalu membuat sesuatu yang indah dari karya lukis dan seni lainnya. Tak ayal jika ada perlombaan seni dirinya menjadi andalan sekolah, wajar jika dikamarnya banyak sekali piagam serta sertifikat lainnya sebagai calon seniman.

Garen menyukai hal itu sejak sekolah dasar. Karena kesendirian dan kondisi keluarga seperti itu, dia selalu menghabiskan waktu di kamar dengan menaruh ribuan warna ke papan lukis sebagai penenang.

Seperti sekarang, disaat kelasnya sedang jam kosong. Dia lebih berdiam diri di sebuah ruangan seni yang kosong. Mengotori kedua tangannya dengan tanah liat yang dibentuk bulat ke atas.

Saat sedang fokusnya membentuk tanah liat itu, tiba-tiba pintu ruangan dibuka kasar oleh seseorang. Garen menggeram rendah saat tanah liat yang sudah terbentuk malah hancur berantakan. Dia mengalihkan pandangan kebelakang, pingin melihat siapa pelakunya.

"Eh maaf, gue kira gak ada orang." Dimas, pemuda itu terkejut saat mendapatkan ada seseorang didalam ruangan seni. Dia kira ruangan itu kosong.

Garen menghela nafas saat mengetahui siapa pelakunya. "Mau ngapain?" tanyanya. Tak mungkin jika Dimas kesini tanpa tujuan. Pemuda itu sangat gampang bosan mengenai seni kecuali olahraga.

"Gue mau ngambil catatan ketinggalan pak Brata," jawab Dimas dengan canggung. Dia berjalan perlahan menuju meja khusus guru dan mengambil setumpuk kertas.

Dimas menghembuskan nafasnya untuk menetralkan detak jantungnya. Dia belum siap menyapa ramah pemuda itu, apalagi mengingat konflik yang terjadi diantara mereka berdua. Dimas yakin jika Garen belum terima akan pernyataan dirinya; pernyataan jika dirinya mencintai pemuda itu.

Setelah mengambil setumpuk kertas itu, Dimas berbalik untuk segera pergi dari ruangan sini. Tapi saat membalikkan tubuhnya, dia dibuat terkejut oleh keberadaan Garen yang tiba-tiba berada di belakang dirinya. Apalagi jarak mereka begitu dekat.

"Heum, Garen," cicitnya dengan wajah terkejut.

"Mau sampai kapan lo jaga jarak sama gue?" Garen memandangi pemuda yang sedikit pendek darinya dengan tatapan sulit di baca. Kejadian di taman itu membuat keduanya jaga jarak— lebih tepatnya Dimas.

"J-jaga jarak apaan?" tanya Dimas seolah tidak tau apa-apa. Padahal dia sangat paham apa yang dikatakan Garen untuknya.

Garen semakin memajukan dirinya, membuat Dimas termentok disisi meja sambil memeluk tumpukan kertas itu. "Apa lo cuma memainkan perasaan gue?" ujar Garen dengan tatapan penuh intimidasi.

"Setelah lo mengatakan itu semua di taman, lepas itu lo pergi tanpa menunggu jawaban gue?" lanjut Garen.

"T-terus harus apa? Apa gue harus menunggu jawaban lo yang mudah gue tebak? Mengatakan jika lo menolak perasaan gue saat itu, karna gue yakin dihati lo masih belum siap menerima semua itu!" pungkas Dimas sambil memberanikan diri menatap pemuda tinggi itu.

Brakk!!

Dimas memejamkan matanya saat Garen memukul keras meja dan mengurung dirinya dengan kedua tangan pemuda itu. Dada Dimas naik turun karena terkejut mengenai tingkah Garen barusan, dia tak menyangka akan emosi Garen saat ini. Sangat menyeramkan.

"Apa benar dari awal lo cuma omong kosong doang? Lo hanya mengatakan itu untuk mempermainkan perasaan gue? Membuat gue jatuh cinta lepas itu lo buang!" Garen mencengkram kuat sisi meja sambil menatap tajam pemuda dihadapan dirinya.

Dimas segera memandangi pemuda itu. "E-enggak... Gue gak bermaksud seperti itu. G-gue... Gue beneran mencintai lo." Suara Dimas memelan saat mengatakan cinta untuk Garen.

𝐑𝐀𝐕𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀 - 𝑩𝒐𝒚'𝒔 𝑳𝒐𝒗𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang