"Mas, tolong ada yang tertimpa bangunan di sebelah sana!" Teriakan dari Bu Endah—sang penjual wedang uwuh mengalihkan atensi para korban yang berhasil menyelamatkan diri, mereka segera bergegas pergi agar sang korban bisa diselamatkan.
Untung saja, guncangan kedua ini sudah berhenti. Dengan sigap, beberapa orang mengikuti langkah Bu Endah untuk sampai di tempat kejadian.
Terlihat kondisi Gia yang sudah lemas, segera saja beberapa orang mengambil tumpukan kayu yang menimpa tubuh Gia. Salah satu diantara mereka segera mengangkat Gia, ia bergumam lirih agar semua orang tak mendengarnya.
"Maaf, saya menyentuh kamu." Setelah mengucapkan itu, Genta membawa tubuh Gia ke tempat yang lebih aman. Ia merebahkan kepala Gia di pangkuannya.
"Sepertinya dia terluka, Bu," ucap Genta sembari meneliti wajah Gia yang terdapat bercak luka di pelipisnya. Ia juga menyadari jika punggung Gia tergores paku yang ada pada kayu yang menimpanya.
Bu Endah merasa bersalah, ia memandang Gia dengan tatapan sendu. "Maafkan ibu, ya, nak. Kalau saja kamu tidak menolong ibu, pasti kamu tidak akan mengalami hal ini."
Genta segera menepis ucapan itu, menurutnya Bu Endah tidak bersalah sama sekali. "Jangan menyelahkan diri sendiri, Bu. Namanya juga musibah, pasti ada yang terluka."
Bu Endah tersenyum mengerti, ia mengelus kepala Gia dengan pelan. "Ibu ambil air mineral dulu, ya, nak. Biar sewaktu Gia siuman, dia bisa langsung minum."
Genta mengangguk, setelah kepergian Bu Endah, ponselnya berdering keras. Melihat siapa yang menghubungi, Genta segera mengangkat teleponnya.
"Lo nggak papa, kan? Gempanya gede banget, waktu gue lihat dari BMKG katanya sampai magnitudo 6,4."
"Aman, gue lagi di deket rumah makan. Lo bisa ke sini, nggak? Oh iya, jangan lupa bawa kotak P3K, di sini ada yang luka-luka. Harus tetap waspada, sewaktu-waktu gempa bisa mengguncang kembali."
Angga—teman Genta segera mengangguk dari arah sana, ia merasa lega tatkala teman seperjuangannya baik-baik saja.
Setelah telepon itu terputus, Genta melirik ke arah Gia. Ia merasa dejavu dengan posisi ini. Tetapi fokusnya teralihkan dengan keberadaan Bu Endah yang sudah membawa air minum.
"Ibu, kalau teman saya sudah ke sini bawa kotak P3K. Nanti ibu yang ngobatin Gia, ya? Saya nggak berani ngobatin area punggungnya," jelas Genta yang membuat Bu Endah tersenyum setuju.
"Oh iya, mas. Daritadi saya lihat mas-nya kayak kenal dengan mbak Gia."
Genta tersenyum tipis. "Saya hanya tau namanya, Bu. Kebetulan sewaktu perjalanan dari Jakarta, saya sempet ngobrol dengan Gia di kereta."
Bu Endah mengangguk mengerti, pantas saja lelaki di depannya tau nama Gia. "Mas, untung saja gempa ini tidak berpotensi tsunami, ya. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kita ini yang ada di pesisir pantai."
"Benar, Bu. Allah masih menjaga kita. Mungkin gempa ini juga teguran buat kita untuk tidak terlena terhadap dunia."
Sewaktu Bu Endah ingin berbicara, tiba-tiba dering telepon mengalihkan atensi mereka. Dering itu berasal dari tas milik Gia yang masih tersampir rapi di bahunya.
Genta mengambil ponsel itu, selanjutnya ia menoleh ke arah Bu Endah. Setelah mendapat anggukan, Genta segera mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, nak. Ibu lihat di berita kalau Bantul terkena gempa, kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" Terdengar nada yang cukup khawatir dari seberang sana, Genta berpikir mungkin ini orang tua Gia.
"Waalaikumussalam, maaf, Bu. Saya izin angkat teleponnya. Gia in syaa Allah aman bersama saya, hanya saja dia sedikit mengalami luka di bagian punggungnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...