Malam yang ditemani dengan keramaian mampu membuat mata itu berbinar, sinar lampu yang bersinar di sepanjang jalan menjadikan malam itu semakin indah.
Tak lupa banyaknya pedagang kaki lima yang berada di sekitar jalan, hal itu membuat jalanan semakin ramai.
Semilir angin Yogyakarta mampu membuat hati Gia berdesir, ia memeluk tubuh Abyaz yang kini berada di gendongannya.
Sesuai janji Genta, mereka berdua menyusuri jalan Malioboro yang menjadi jantung kota Yogyakarta. Tak lupa Monumen Tugu Yogyakarta yang berada di poros kota dengan dua jalan sebagai hiasannya.
Kini Genta memilih untuk mengajak Gia ke salah satu pedagang kaki lima yang ada di sana, pria dengan kacamata hitam itu membeli dua wedang ronde sebagai penghangat di malam hari. Tak ayal jika malam ini udara terasa dingin, ia jadi teringat dengan anaknya itu.
"Sayang, Abyaz kedinginan, gak?" tanyanya sedikit mendekat ke arah sang empu, terlihat wajah Abyaz yang terlelap. Mungkin karena udara yang cukup nyaman untuk tertidur.
"Tidur, nih. Dia anteng banget daritadi." Genta mengangguk, ia merasa lega mendengarnya.
"Mau gantian? Takutnya kamu capek." Gia tersenyum, ia melepas cekalan yang sedari tadi hinggap di bahunya.
Akhirnya Abyaz beralih gendongan, ia sudah berada di pelukan sang ayah. Setelah itu, mereka menikmati sajian wedang ronde yang sudah disajikan.
"Setelah ini mau beli apa?"
Gia berpikir sejenak, melihat jalanan Malioboro yang indah ini sudah cukup untuknya.
"Pengin martabak telur, deh. Terus pengin ke angkringan juga." Genta mengangguk, ia akan mengabulkan permintaan istrinya itu.
"Mau ke pasarnya, gak? Jarang-jarang, loh, kita ke sini." Tawaran itu mendapat anggukan, Gia tak terpikirkan dengan pasar tradisional yang cukup ramai itu.
Setelah menghabiskan satu wedang ronde, ketiganya beralih ke tempat pembuatan martabak telur. Mereka memilih untuk makan di dekat trotoar yang terdapat kursi panjangnya.
Karena Genta sedikit haus, ia membeli dua minuman kemasan yang tersedia. Selanjutnya ia menunggu martabak telur itu jadi.
"Bi Ajeng lagi ngapain, ya? Dia pasti senang buat ketemu sama keluarganya." Memang wanita paruh baya itu ikut mereka ke Yogyakarta, tetapi bukan untuk liburan melainkan pulang ke kota asalnya.
Tentu saja Gia dan Genta tak keberatan dengan hal itu, pasalnya bi Ajeng belum memakai jatah cutinya yang ada dalam satu tahun itu.
"Pasti lagi main sama cucunya, kan dia udah punya cucu yang umurnya satu tahun." Genta menanggapi dengan anggukan.
Karena pesanan mereka sudah jadi, keduanya beralih ke kursi yang ada. Mereka memakannya dengan khidmat, tak lupa melihat jalanan kota yang masih ramai dipadati penduduk.
"Walaupun udah malam, Malioboro tetap ramai, ya? Apalagi keindahannya yang membuat semua orang ingin ke sini. Terus setiap trotoar ada lampu dan kursi, pas banget buat jadi tempat nongkrong." Gia memandang sekitar, melihat interaksi warga lokal dengan wisawatan sepertinya.
"Malioboro selalu ramai, karena banyak pedagang kaki lima makanya mereka milih singgah di sini."
Iya, sih. Pedagang kaki lima sangat banyak di jalanan ini. Tak heran jika masyarakat setempat memilih untuk pergi ke luar rumah demi mendapat sebuah makanan.
"Martabaknya udah habis?" Gia menoleh ke arah wadah yang berisi makanan itu, ia menyengir tatkala tanpa sadar menghabiskannya.
"Hehehe, nih makan punya aku." Genta menerima suapan itu, terlihat bekas minyaknya menempel di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...