Bantul, Yogyakarta. Sebuah kota yang memiliki pantai selatan yang sangat indah. Pantai yang menyajikan sebuah hamparan pasir dan keindahan sunset yang memanjakan mata. Hal itu membuat siapa saja merasa enggan untuk beranjak dari sana.
Setelah dilanda gempa Juni lalu, kini pantai itu kembali dirubungi oleh wisatawan. Sebelumnya tempat wisata ini sempat ditutup agar merasa aman dari bencana yang ada.
Tetapi sekarang aksesnya kembali dibuka, bahkan tak segan-segan orang yang berkunjung sangat ramai. Sampai-sampai pantai itu tak terlihat karena aktivitas manusia yang ada di sana.
Kini, Gia dan Genta memilih untuk kembali ke sini. Mengenang sebuah momen di mana mereka dipertemukan, tentu saja momen yang sangat berarti di hidup mereka.
Mereka kembali mengukir kisah di tempat ini, membawa sebuah kebahagiaan dan harapan yang tak kunjung redup.
Sebelum melangkahkan kaki di pesisir pantai, mereka memilih mampir ke sebuah warung yang menjajakan wedang uwuh. Sebuah tempat yang selalu ramai oleh para pengunjung pantai.
Melihat aktivitas yang ada di sana, keduanya tersenyum. Rasa-rasanya mereka rindu dengan pemilik warung itu.
"Assalamu'alaikum bu Endah," sapa Genta yang membuat wanita paruh baya itu menoleh.
"Wa'alaikumussalam, mas Genta, ya?" Genta tersenyum, ternyata bu Endah masih mengenalinya.
Karena kedatangan tamu yang tak diundang itu, bu Endah mendekat. Ia segera memeluk tubuh jangkung yang pernah menjadi relawan beberapa bulan yang lalu.
"Ya Allah, mas Genta akhirnya ke sini lagi. Ini sama mbak Gia?" Sang empu tersenyum, lantas mencium tangan wanita itu dengan takzim.
Bu Endah segera membawa mereka untuk masuk ke dalam, ia merasa rindu dengan kedua anak muda itu.
"Kalian sejak kapan ada di sini, terus berdua aja?" Gia menggeleng, ia ke Bantul bersama Abyaz. Tetapi kebetulan anaknya itu tengah tertidur, untung saja ada bi Ajeng yang menemani.
"Kami sama putra kami, bu. Kebetulan dia masih tidur, jadinya kami titip ke art terus mampir ke sini." Tentu saja fakta itu membuat bu Endah terkejut, ia tak menyangka jika kedua anak muda ini sudah menikah.
"Kalian sudah menikah?" Keduanya mengangguk sembari tersenyum.
"Iya, bu. Maaf tidak sempat mengundang, sebab yang datang hanya orang terdekat saja." Bu Endah memaklumi, ia tak keberatan dengan hal itu.
"Jadi kalian ceritanya cinlok, ya? Bu Endah senang mendengarnya." Keduanya tertawa, ucapan bu Endah ada benarnya.
"Iya, bu. Selain jatuh cinta dengan keindahan Parangtritis, kami juga jatuh cinta dengan paras dan kepribadian masing-masing. Alhasil, semesta menyatukan kami dan sekarang sudah ada seorang anak kecil di tengah-tengah kami." Bu Endah tersenyum mendengarnya.
"Alhamdulillah, selamat, ya, mas Genta, mbak Gia. Saya doakan pernikahannya langgeng sampai kakek nenek, pokoknya sakinah mawadah warahmah." Keduanya mengaminkan, mereka juga mempunyai harapan yang sama.
"Oh iya, berhubung kalian di sini. Ibu bikinin wedang uwuh, ya? Kalian pasti kangen, dong, dengan cita rasanya?" Saat kedua pasangan itu mengangguk, Bu Endah segera bergegas membuatkannya. Untung saja pengunjung tak ramai, jadi ia bisa berbincang hangat dengan dua anak muda itu.
Setelah disajikan ke atas meja, keduanya kini mencoba wedang uwuh yang sempat mereka minum satu tahun yang lalu.
Iya, mereka datang setelah satu tahun pergi. Ternyata keindahannya masih sama seperti Juni tahun lalu.
"Gimana jualannya, bu? Lancar?"
"Alhamdulillah, memang setelah bencana datang itu sempat sepi. Tapi sekarang semakin ramai karena wisatawan yang datang." Keduanya mengangguk lega, merasa senang juga karena wedang uwuh ini banyak yang menyukai.
"Kalau ibu boleh tahu, kalian menikah kapan? Rasa-rasanya baru kemarin kita bertemu."
"Beberapa bulan setelah gempa, bu. Kita bertemu lagi di cafe milik Angga. Ternyata Gia sudah pernah melihat saya dan ada sedikit kesalahpahaman saat itu. Terus saya mencoba meluruskan, dan juga mencoba mendekatkan diri. Setelah proses pendekatan itu, ternyata kita bekerja di rumah sakit yang sama. Akhirnya saya memberanikan diri ke rumah Gia bersama ayah, alhamdulilah Gia menerima dan sekarang kami sudah dikaruniai satu orang anak laki-laki yang sudah berumur tiga bulan. Kalau dihitung, kita hampir satu tahun bersama."
Penjelasan itu membuat bu Endah mengangguk, ia masih tak menyangka jika mereka dipertemukan untuk dipersatukan.
"Jodoh memang gak akan ke mana, mas. Padahal kalian gak sengaja ketemu di sini, eh malah jodoh." Keduanya mengangguk, mereka juga masih tak menyangka sebab pertemuan singkat di kereta api membawa sebuah dampak yang sangat luar biasa.
"Bener, bu. Walaupun kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi kami belum pernah bertemu. Tetapi setelah pulang dari sini, semesta seolah-olah selalu mempertemukan kita di mana pun."
"Benar itu, namanya juga takdir."
Setelah perbincangan itu, bu Endah pamit untuk melayani pembeli yang lain. Genta dan Gia pun sedikit berbincang untuk membahas hal-hal lain.
"Abyaz anteng, gak, ya? Aku khawatir kalau dia rewel," gusarnya tak tenang, Genta pun segera mengelus punggung tangan itu.
"Tenang sayang, aku yakin Abyaz anteng di sana. Ada bi Ajeng yang nanganin, jadi Abyaz gak mungkin rewel." Gia mengangguk, ia merasa lebih tenang sekarang ini.
"Nanti kita ajak Abyaz ke Malioboro, ya? Mau, kan, lihat Malioboro di waktu malam?" Gia menoleh, setelahnya ia tersenyum cerah.
"Ajakan diterima! Aku jadi gak sabar buat ke sana." Genta tersenyum, ia mengelus kepala itu dengan sayang.
Setelah menghabiskan secangkir wedang uwuh, mereka memilih pamit untuk pergi ke pesisir pantai. Bu Endah pun mempersilakan mereka untuk menikmati liburan.
Kini mereka menginjakkan kaki di atas pasir yang sempat mereka injak satu tahun lalu, tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan membuat kedua manusia itu saling pandang.
"Kita memulai kisah di sini dan akan selalu berada di sini. Dengan hamparan pantai yang meluas, deburan ombak yang terdengar merdu, juga semilir angin yang menyejukkan. Aku, Gentala Daksa Revano berterima kasih kepada kamu, Elegia Farrany Nayanika karena sudah menjadi bagian hidup yang sangat indah. Terima kasih karena sudah memilih aku menjadi teman hidupmu, terima kasih karena tak bosan mendengar segala keluh kesahku, dan terima kasih karena telah menghadiahkan seorang malaikat kecil yang semakin mewarnai hidupku."
Penjelasan itu membuat mata Gia berkaca-kaca, apalagi usapan kepala yang terasa lembut juga ciuman yang berada di atas kening.
"Aku juga berterima kasih, berkat kamu aku tahu kalau cinta itu ada. Aku sangat beruntung karena mempunyai seorang pelindung yang mampu menjadi seorang ayah bagi Abyaz. Aku juga bersyukur karena kita dipertemukan kembali di tempat yang indah ini. Sepertinya hamparan langit dan matahari yang terbenam turut menjadi saksi bahwa cinta kita tak akan pudar. Di sini, di tempat ini, kita merajut cinta yang sangat dalam. Parangtritis akan menjadi tempat yang indah untuk kisah kita. Kisah yang akan abadi dalam sebuah cerita yang ada."
Genta tersenyum, ia membawa tubuh Gia ke pelukannya.
"Parangtritis akan menjadi tempat yang indah untuk kisah kita." Genta kembali mengulang perkataan yang dilontarkan oleh Gia, ia merasa bahagia, sungguh.
Ternyata memang benar, entah di mana pun tempatnya, Yogyakarta akan menjadi kota yang sangat indah untuk dua sejoli yang merajut cinta.
Kisah Gia dan Genta dimulai dari sini, dan akan berakhir di sini juga.
Rasa-rasanya, aku ingin memberi salam kepadamu. Hi, Parangtritis! Semoga kita bisa bertemu di lain waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...