39. Hi, Jagoan!

407 12 0
                                    

Menjadi seorang ibu di usia 23 tahun menjadi sebuah hal yang tak pikirkan oleh Gia, dulu wishlist-nya adalah menikah saat dia sudah berumur 25 tahun.

Tapi ternyata Allah mempunyai rencana dan takdir yang lain, dua tahun sebelum itu dirinya sudah dipersunting oleh seorang lelaki yang ia temui disaat terkena musibah di Bantul tempo lalu.

Memang takdir tidak ada yang tahu, semua hal yang sudah kita rencanakan terkadang tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Begitu juga dengan hari ini, perkiraan dokter mengenai persalinan Gia masih dua minggu lagi. Ternyata Allah mengabulkannya sehari setelah Visha melahirkan.

Iya, setelah pulang dari rumah sakit Gia mengeluh tentang perutnya yang sakit. Tetapi setelah itu tidak lagi, sepertinya Gia terkena kontraksi palsu sebelum kontraksi yang asli datang di waktu dini hari.

Saat waktu memasuki pukul dua malam, Gia merasakan sakit yang ada di perutnya. Ia pikir itu adalah kontraksi palsu, tetapi air ketuban sudah pecah dan mengalir deras dari selangkangannya.

Tentu saja Gia panik, ia segera membangunkan Genta yang masih tertidur lelap di sampingnya.

Mendengar suara tangisan sang istri membuat Genta terbangun, ia memasang raut wajah panik tatkala melihat seprei yang basah karena pecahnya air ketuban.

Dengan nyawa yang masih belum kumpul, Genta segera menggendong Gia untuk pergi ke rumah sakit. Untung saja sekarang ini mereka sudah berada di kamar bawah, tentu saja agar lebih enak jika ada keadaan genting seperti ini.

Bi Ajeng yang memang tengah terbangun karena merasa haus mendengar suara langkah yang memburu, ia yang penasaran pun segera mengeceknya.

"Ya Allah, pak! Bu Gia mau melahirkan?!" tanyanya yang mendapat anggukan dari Genta.

"Bibi nanti nyusul gapapa, kan? Sama Angga ke rumah sakit. Soalnya air ketuban Gia pecah di atas kasur." Bi Ajeng mengangguk, setelahnya ia masuk ke dalam kamar majikannya itu untuk membersihkan ranjang.

Karena perlengkapan sudah berada di mobil, Genta segera menyalakan mobil itu dan membawanya pergi. Untung saja jalanan lancar dan hal itu disyukuri oleh Genta.

"Sabar, ya, sayang? Sebentar lagi kita sampai." Karena pikiran Genta dipenuhi dengan kekhawatiran, ia membawa Gia ke rumah sakit Pelita Harapan. Padahal ada rumah sakit yang lebih dekat tetapi ia tak ada waktu untuk memikirkan hal itu.

Pikirannya kini tertuju ke arah Gia yang masih merasa kesakitan, karena tak tega melihat itu, Genta membawa mobilnya dengan kecepatan kilat.

Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di depan UGD dengan selamat. Genta segera mencari seorang suster yang berjaga malam.

"Suster, tolong istri saya!" teriaknya yang membuat para medis itu bergerak cepat, diletakkannya Gia di atas brankar, setelahnya mereka mendorong brankar itu untuk menuju ruang bersalin.

Suster itu mengecek pembukaan yang ada, ternyata Gia masih dalam pembukaan enam.

"Tenang, ya, pak Genta. Bu Gia baru pembukaan enam, masih belum lengkap untuk melahirkan." Genta mengangguk, ia kini duduk di samping sang istri yang tengah kesakitan.

"Atur napasnya, ya? Kamu pasti kuat," lirihnya mencoba untuk membangkitkan semangat Gia.

"Kak, sakit!" Genta mengangguk, ia merasakan hal itu lewat wajah Gia.

"Sekarang pegang tangan Kasa, alihkan semua rasa sakit kamu ke tangan aku." Gia memegang tangan Genta dengan erat, ia memejamkan mata sebab rasa sakit akibat kontraksi sangat dahsyat.

"Bunda, aku pengin bunda." Genta gelagapan, ia segera menghubungi orang tua Gia yang mungkin tengah tertidur lelap di sana.

"Sebentar, ya, Kasa telepon mereka dulu."

Jatukrama [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang