18. Kehangatan Keluarga

392 15 0
                                    

Derasnya hujan menjadi pembuka malam yang semula cerah, lampu yang berjejer rapi di jalanan pun kini mulai menyalakan cahayanya.

Jakarta yang tadinya panas gersang sekarang sedikit sejuk, sebab rintikan hujan terus berjatuhan ke dasar bumi.

Gia dan Genta yang baru saja selesai mengurusi urusannya bergegas pergi ke luar rumah sakit. Tatkala mendengar rintikan sendu, Genta sedikit berpikir sesuatu.

Ia tak mau membawa Gia pulang dengan menggunakan motor, apalagi kondisi Gia masih cukup lemah dikarenakan proses transfusi darah.

Ingin menunggu reda sepertinya bukan opsi yang bagus, sebab langit sudah mengeluarkan warna gelapnya.

Dan mungkin om Nizam akan memarahinya sebab kembali membawa pulang anak gadis di malam hari.

"Kak, hujan. Kita nerobos atau nunggu dulu?" tanya Gia memecah lamunan Genta, ia menoleh dan segera menggeleng keras.

"Kamu masih lemas, kalau nunggu pun kayaknya lama. Atau gak gini, kamu pakai taxi online terus aku ikutin dari arah belakang." Gia seketika tak setuju, ia merasa tak adil dengan saran yang Genta lontarkan.

"Mending kalau pakai taxi online, kakak juga ikut naik," kilahnya memberi saran yang lain.

"Nanti motor kakak gimana Gia? Mending kayak gitu aja, kamu naik mobil dan aku naik motor. Gapapa, hujan gak sederas itu, kok." Gia mengangguk pasrah, jika dirinya kekeuh pun sepertinya tidak akan selesai perdebatan ini.

"Ya udah, tapi kalau udah sampai rumah langsung bersih-bersih, mandi air hangat sama minum wedang jahe. Awas, loh, kalau gak nurut!" Genta mengiyakan, ia mengulum senyum saat melihat raut wajah yang diperlihatkan oleh Gia.

"Iya, Gia. Nanti kakak langsung mandi." Gia memberi kedua jempolnya.

Sekarang Genta mengambil ponselnya di saku, lalu ia membuka aplikasi untuk memesan taxi yang akan ditumpangi oleh Gia.

Beberapa menit menunggu, kini mobil putih itu sudah bertengger manis di depan rumah sakit. Genta yang sudah mengkonfirmasi pun bergegas mengkode Gia untuk masuk ke dalam.

"Saya ikuti dari belakang, ya, pak. Bawanya pelan-pelan aja, takutnya kenapa-kenapa di jalanan." Sang supir mengiyakan, kini mobil putih itu sudah menginjak pedal gas dan ke luar dari area rumah sakit.

Genta pun segera menaiki motornya, ia kini mengikuti arah mobil itu dari belakang. Derasnya hujan seperti mengaburkan penglihatannya, untung saja hal itu sudah terbiasa olehnya.

Di tengah perjalanan, hujan semakin deras mengguyur Ibu kota. Gia yang merasa khawatir dengan keadaan Genta segera menoleh ke arah belakang.

Ia melihat Genta sudah basah kuyup, bahkan tampak menggigil sebab dinginnya hujan disertai angin malam yang cukup kencang.

Gia segera mengetikkan beberapa pesan di ponselnya, meminta tolong sang Bunda untuk membuatkan wedang jahe.

Ia tak yakin jika Genta akan membuatnya sendiri, pun kalau membeli sepertinya akan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Gia berubah pikiran, sepertinya ia akan meminta Genta untuk bebersih di rumahnya. Agar sewaktu lelaki itu pulang, sudah sedikit merasa lebih baik dari yang ia lihat.

Mobil putih itu kini berhenti di pelataran rumah, terlihat Farra yang menunggu anaknya pulang dengan payung di atas kepalanya.

"Terima kasih, pak," ucapnya kepada sang supir, setelahnya Farra menemani Gia untuk masuk ke dalam.

"Genta, masuk dulu, nak. Bebersih sebentar sama minum wedang jahe, Tante sudah buatkan untukmu." Genta yang kini berjalan ke arah mereka berdua segera menggeleng, ia tak mau merepotkan keluarga Gia.

Jatukrama [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang