Sedari pagi, Gia mencoba menghubungi kontak milik Visha. Tetapi hanya terdengar suara operator yang mengkonfirmasi bahwa Visha tidak bisa dihubungi.
Hal itu tentu saja membuat Gia khawatir, pasalnya Visha tidak pernah seperti ini. Pasti jika ada hal yang kurang mengenakkan sahabatnya itu akan segera menghubungi dirinya.
Karena sudah tak tahan dengan rasa khawatirnya itu, Gia bergegas turun ke bawah. Ia akan meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk berkunjung ke rumah Visha.
"Bunda, Gia izin ke rumah Visha, ya? Dari kemarin gak ada kabar, Gia khawatir sama keadaan dia." Farra yang tengah berkutat dengan alat masaknya segera menoleh ke arah belakang, tampak raut khawatir yang ada di wajah Gia.
"Tenang dulu, nak. Jangan gegabah seperti itu." Gia mengatur napasnya yang memburu, setelah tenang ia meminum segelas air putih yang disodorkan oleh Bundanya itu.
"Sudah tenang?" Gia mengangguk. "Ke sananya bareng sama Genta, kamu gak lupa, kan, kalau semalam Genta menginap?"
Seketika Gia menepuk keningnya, ia lupa bahwa ada seseorang yang tidur di kamar tamu semalam.
"Hehehe, lupa. Tapi ke rumah Visha nya sekarang aja, ya? Kak Genta sekarang di mana?" Farra segera memberitahu posisi Genta, ia tak tega melihat raut wajah sang anak yang masih dilanda khawatir.
Terlihat dua orang berbeda usia itu tengah berbincang hangat di depan teras, sebelum bergegas pergi Gia izin terlebih dahulu kepada Ayahnya.
"Ayah, Gia mau ke rumah Visha. Soalnya dia gak bisa dihubungi, Gia takut ada apa-apa sama dia." Mendengar hal itu Nizam menoleh ke arah Gia, setelahnya ia mengangguk.
"Diantar sama Genta, katanya dia sekalian pulang."
"Iya Ayah, Gia pamit, ya." Ia mengecup tangan sang Ayah, setelahnya mengode Genta untuk bergegas pergi.
"Saya izin pamit, ya, om. Terima kasih untuk kamar tidur dan bajunya. Nanti kalau sudah bersih, bajunya akan saya kembalikan."
"Tidak usah, itu baju lama saya dan sekarang sudah tidak muat." Genta mengangguk paham, ia mengecup tangan Nizam sebagai tanda bahwa ia pamit.
Setelah Gia naik ke atas motor milik Genta, sang pengendara memencet klaksonnya. Setelahnya Genta membawa motor itu dengan kecepatan rata-rata.
"Visha gak bisa dihubungi sama sekali?" tanya Genta disela-sela ia mengendarai motor.
"Enggak bisa sama sekali, aku udah nyoba beberapa kali tapi tetap aja gak aktif." Genta mengangguk paham, ia merasakan kekhawatiran yang Gia rasa.
"Doa'kan saja, semoga Visha baik-baik saja." Gia mengaminkan, ia berharap sahabatnya itu baik-baik saja.
Setelah membelah kemacetan Ibukota, motor yang dikendarai oleh Genta sudah berada di depan rumah yang cukup sunyi. Gia pun segera beranjak untuk mengetuk pintu itu.
Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Memperlihatkan kondisi Visha yang tidak baik-baik saja.
"Ya Allah, kenapa mata lo sembab? Terus baju kusut begini, lo kenapa Visha?" cecarnya yang membuat Visha kembali menangis, ia segera memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat.
Gia yang tak paham pun hanya bisa menenangkan, ia memilih masuk ke dalam agar tidak membuat curiga para tetangga.
"Kenapa? Beberapa hari ini lo gak ngasih gue kabar. Gue kira lo lagi me time, tapi tadi pagi gue gak bisa hubungin lo." Setelah tangisan Visha reda, ia segera menceritakan hal yang membuatnya seperti ini.
"Waktu gue disuruh pulang sama Papi, gue langsung diajak ke restoran. Gue kira cuma mau makan biasa, ternyata ketemu sama teman koleganya Papi. Gue biasa aja, dong, waktu itu. Mungkin cuma pertemuan biasa kayak kolega yang lain," ucapnya sedikit terjeda, ia mengambil tisu untuk mengusap air matanya.
"Terus, setelah itu memang gue me time, makanya gak ngehubungin lo karena asik nonton Drakor. Eh, besoknya Papi bilang kalau gue dijodohin sama anaknya teman kolega Papi yang kemarin ketemu. Gue shock, dong. Masa tiba-tiba gua dijodohin, sih? Kayak gak ada yang mau aja sama gue."
Gia sedikit terkejut mendengarnya, ia tak menyangka jika sahabatnya itu akan dijodohkan dengan seseorang. Mungkin Visha juga tidak mengenal calonnya itu.
"Kenapa gak ngabarin? Kan gue bisa ngasih solusi," ucapnya yang membuat Visha berdecak.
"Gue bingung, takutnya lo ngetawain gue." Gia geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Gue juga tahu situasi kali, ya kali gue ngetawain lo. Terus gimana? Lo udah ketemu sama calonnya belum?" Visha mengangguk lesu.
"Jadinya gimana? Lo setuju?"
"Gak tau, waktu lihat dia memang pas sama kriteria gue. Tapi gue bimbang, soalnya dia lagi suka sama seseorang. Makanya gue awur-awuran kayak gini karena dia," ucapnya sambil meremas tisu yang sudah usang.
"Emang siapa yang mau dijodohin sama lo?" Gia kembali mengulik informasi, ia ingin tahu latar belakang dari pemuda itu. Bila perlu siapa yang disukai olehnya.
"Gala Samudra Andirga, dipanggilnya Dirga. Dia asal Yogyakarta, terus udah punya salah satu restoran di sana." Mendengar nama itu, Genta dan Gia saling pandang. Pikiran mereka seolah-olah terkunci kepada satu orang yang pernah mereka temui.
"Dia ... ikut jadi relawan gak?" Visha mengangguk, ia masih ingat dengan hobi yang Dirga lakukan.
"Lo ada fotonya? Siapa tau gue kenal sama calon lo." Visha merogoh sakunya, ia mengambil ponsel dan mencari foto yang sempat Papinya kirimkan.
"Masa, sih, lo kenal? Kan dia anak Yogyakarta, kayak gak mungkin aja gitu." Melihat wajah yang berada di ponsel milik Visha, kedua manusia itu saling pandang.
"Hehehe, maaf, ya. Bukan maksud bikin lo tambah sedih, tapi—"
"Tapi apa? Lo kenal sama dia? Di mana kenalnya?" Gia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia ingin jujur tetapi rasanya sulit.
"Kak, omongin gak, nih?" bisiknya ke arah Genta, sang empu hanya mengangguk.
"Bilang aja, daripada nanti tambah masalah kalau dia tau dari orang lain." Gia mengangguk paham.
Visha yang melihat kedua orang itu berbisik-bisik hanya mengernyit heran, ia menoel lengan Gia agar melanjutkan ucapannya.
"Tapi apa Gia? Jangan bikin penasaran, dong!"
"Hehehe, sebenarnya mas Dirga itu suka sama gue. Kita ketemu sewaktu di Bantul, dan dia jadi salah satu relawan di sana. Terus ... ya gitu deh. Kak Genta pernah berantem sama mas Dirga karena cemburu." Genta yang mendengar itu hanya bisa menganga, ia tak menyangka jika Gia akan membeberkan hal itu kepada sahabatnya.
"Hah?! Kok bisa?!" Gia hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia juga terkejut dengan fakta yang baru saja ia dengar.
"Ck, dunia selebar daun kelor. Kenapa harus lo yang disukai sama Dirga? Gue kan jadi minder."
"Yaa gimana, perasaan gak bisa dipaksakan. Tapi lo tenang aja, gue jamin mas Dirga bakal suka sama lo. Kan cinta datang karena terbiasa, mungkin lo bisa memulai pendekatan. Terus juga mas Dirga udah dewasa, pasti dia tahu dan gak bakal nyakitin orang." Penjelasan itu membuat Visha tersenyum cerah, ia bertekad akan meluluhkan hati seorang Dirga.
"Jadi, lo setuju, nih, sama perjodohannya?" Visha mengangguk antusias, ia akan dengan senang hati menerimanya.
"Syukurlah, gue jadi lega."
Setelah pembicaraan itu, mereka memilih untuk melakukan hal lain. Genta yang merasa sendirian pun hanya bisa menghela napas pasrah, ia hanya bisa memandang kedua gadis yang sudah berkelana di dunianya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...