Hiruk pikuk kota Jakarta menjadi pemandangan sehari-hari, apalagi jika sudah memasuki hari libur. Semua orang berbondong-bondong untuk ke luar rumah guna mencari sebuah hiburan untuk merilekskan pikiran.
Di trimester ketiga ini, kandungan Gia sudah terlihat bentuknya. Bahkan terkadang si jabang bayi menendang-nendang perut Gia untuk merespon ucapannya.
Kini, pasutri itu tengah duduk di ruang keluarga. Mereka tengah berbincang bersama bayi yang sebentar lagi akan ke luar.
"Dede, kalau nendang jangan keras-keras. Kasihan mama kamu kesakitan," ucap Genta sembari mengelus perut yang sudah menonjol itu, mereka tengah menghabiskan waktu bersama di dalam rumah.
"Gapapa, kak. Aku seneng kalau dede responsif, berarti dia seneng kalau diajak ngobrol sama kita." Genta tersenyum, elusan itu kini beralih ke rambut milik Gia.
"Tapi aku khawatir sayang, kadang kamu kesakitan sampai pinggang kamu pegal. Aku gak tega sama kamu."
"Aku menikmati hal ini, apalagi dede akan lahir, kan? Jadi momen ini jarang sekali terjadi." Genta menghela napas pasrah, ia paham dengan hal itu.
"HPL kamu kapan, ya, sayang? Aku lupa," tanyanya berusaha mengingat-ingat.
"Sekitar dua Minggu lagi, tapi kata dokter Kania gak bisa diprediksi. Kadang bisa maju atau mundur perkiraannya." Genta mengangguk paham.
"Sayang, barang-barang buat dibawa ke rumah sakit udah penuh, kan?"
"Udah sayang, aku dibantu bi Ajeng buat natain semua. Jadi kalau kamu mau lahiran, pakaiannya udah ada." Gia menghela napas lega, jujur saja ia takut jika hari persalinan nanti tiba.
Melihat raut wajah Gia yang berubah membuat Genta tahu kalau istrinya itu tengah takut, akhir-akhir ini memang Gia terbayangkan tentang proses persalinan. Tentu saja Genta membantu untuk mengalihkan rasa takut itu.
"Jangan takut sayang, aku tahu kamu bisa. Kamu sehat dan bisa untuk melahirkan secara normal, dan aku yakin kamu bisa melakukan hal itu. Kamu tenang aja, nanti aku temenin sewaktu dede lahir. Biar aku tahu perjuangan seorang ibu itu seperti apa."
Gia tersenyum, mendengar hal itu membuat rasa takutnya sedikit berkurang. "Makasih, kak. Mungkin emang bikin deg-degan, tapi aku yakin aku bisa."
"Kamu pasti bisa! Kita punya Allah dan keluarga, jadi kamu gak akan kesepian nantinya." Gia mengangguk, ia kini memeluk tubuh Genta dari samping.
Mengingat tentang proses persalinan, ia jadi teringat dengan sahabatnya itu. Kata Visha tempo lalu, minggu ini perkiraan dia melakukan persalinan.
"Kak, coba hubungi mas Dirga. Visha katanya mau lahiran di minggu ini." Genta mengangguk, ia segera menghubungi temannya itu.
Memang setelah mengalami hal yang sama, Dirga dan Genta kini berteman. Kadang mereka saling berkeluh kesah karena istri mereka mengidam hal yang tak masuk akal.
Baru saja telepon itu terhubung, suara panik dari Dirga membuat keduanya penasaran.
"Dirga, kenapa?"
"Visha mau lahiran, gue panik banget! Gak tahu harus apa."
Mendengar hal itu tentu saja membuat keduanya terkejut. "Lo langsung bawa Visha ke rumah sakit, kendalikan rasa panik lo itu."
Di seberang sana, Dirga mengangguk. Ia mematikan telepon agar bisa membawa Visha ke rumah sakit.
"Rumah sakit tempat lo kerja, Visha bakal lahiran di sana."
Kata terakhir itu terucap sebelum telepon itu dimatikan, Genta dan Gia pun bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...