Dentingan piring dan sendok yang beradu membuat rumah yang semula sunyi kini sedikit bergemuruh.
Detakan jarum jam yang selalu terulang menjadikan sosok teman dikala sepi melanda.
Dirinya hanya sendirian di sini, menghabiskan hari dengan sebuah rasa sepi yang tak ada arti.
Ia menghela napas panjang, merasa sepi sebab tak ada teman yang menemani. Ia bagaikan manusia yang tak punya siapa-siapa di dunia, karena kondisi rumah yang tak ada siapapun selain dirinya.
Karena tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Genta memilih untuk menyelesaikan acara makannya dan beralih ke ruang tamu untuk menyetel saluran televisi.
Tetapi sebelum itu, suara notifikasi yang terdengar dari ponsel sedikit mengalihkan atensinya.
Genta memilih membuka notifikasi itu, otaknya berpikir mungkin itu adalah sesuatu yang penting.
Benar dugaannya, sebuah undangan dari Rumah Sakit tempat dirinya mendaftar kala itu memberi sebuah informasi.
Di situ tertulis bahwa namanya masuk ke dalam jajaran pelamar yang diterima di Rumah Sakit tersebut, Genta yang membaca deretan kalimat itu segera tersenyum cerah.
Akhirnya penantian menjadi seorang Psikolog tiba, ia berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan setelah berusaha selama beberapa tahun untuk mendapatkan gelar seorang Psikolog.
Impiannya sebentar lagi tercapai, walaupun diselingi sebuah tangisan tetapi dirinya berhasil menjadi apa yang ia cita-citakan.
Karena terlanjur senang, dirinya menghubungi kedua orangtuanya yang jauh dari sisinya. Tetapi berkali-kali mencoba, keduanya tidak bisa dihubungi.
Senyum yang semula terpancar kini redup, Genta sedikit kecewa sebab orangtuanya tidak bisa dihubungi.
"Kalian gak ada waktu buat lihat keadaan Genta di sini?" gumamnya sedikit lirih.
Beberapa saat kemudian, terdengar deringan telepon yang membuat Genta segera melihat ponselnya. Di layar tertera nama Gia yang membuatnya sedikit mengernyit.
Ia pun mengangkat telepon itu, di sana Gia berbicara bahwa dirinya ingin mendaftar sebagai salah satu ahli gizi di Rumah Sakit di mana Genta diterima kerja di sana.
Genta yang merasa senang pun segera menerima ajakan Gia untuk menemani gadis itu. Kebetulan Genta juga ingin ke sana untuk mengkonfirmasi email yang baru saja ia dapatkan.
Setelah telepon itu dimatikan, Genta segera bergegas mengambil jaket dan dompet untuk ia bawa. Selepasnya ia pergi ke garasi untuk mengambil motor kesayangannya.
Jalanan di Ibu kota sedikit lengang hari ini, mungkin karena belum memasuki jam pulang kantor. Jadi tak se-macet biasanya.
Dengan mengemudi selama beberapa menit, motor yang semula membelah jalanan kini sudah sampai di pekarangan milik Gia.
Genta masuk ke dalam, mengucapkan salam yang dibuka oleh wanita dewasa.
"Eh, Genta, ya? Mau ketemu Gia?" Genta tersenyum, ia mengangguk sembari mengecup tangan Farra.
"Om Nizam ada Tante? Saya mau minta izin untuk mengantar Gia ke Rumah Sakit." Farra mengiyakan, ia memanggil sang suami juga membuatkan minum untuk pemuda di hadapannya.
"Sebentar, ya. Kamu duduk dulu." Genta mengangguk, ia menghubungi Gia bahwa dirinya sudah sampai.
Beberapa saat kemudian, datanglah pria yang menjadi Ayah dari Gia. Ia duduk berbarengan dengan sang istri yang membawakan minuman.
"Gak usah repot-repot Tante." Farra menggeleng, ia tak keberatan dengan hal itu.
Setelah meminum sedikit, Genta menghadap ke arah Nizam. Ia berdehem terlebih dahulu untuk memulai pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...