8. Lara

623 19 2
                                    

Serpihan kaca yang seolah-olah masuk ke dalam ulu hati menjadikan lara yang tak dapat terbendung oleh mata. Derasnya air yang mengalir dari netra menjadi saksi bahwa hati tertoreh luka.

Rasanya sakit. Seperti belati yang masuk ke dalam nadi, membawa sebuah luka yang menganga lebar di dalam hati.

Gia sadar, sangat sadar apa yang ia rasa. Sebuah kata kagum yang akhir-akhir ini ia bawa, hanya saja ... rasa itu membawa luka yang menganga.

Deburan ombak pantai menjadi saksi bahwa rasa sakit itu semakin melekat, melambai-lambai seperti angin dan membentang luas seperti deburan ombak.

Ia menghela napas, berusaha sadar jika rasa yang ada dalam dada hanya bertepuk sebelah tangan semata.

Tanpa sadar, seorang pemuda mendekat ke arahnya. Melihatnya dengan raut wajah yang sedikit heran.

"Gia," sang empu menoleh, mencari keberadaan suara yang memanggil namanya. Setelah tau siapa yang memanggil, ia segera mengusap air matanya yang sempat jatuh.

"Eh, mas Dirga. Kenapa, mas?" tanyanya kepada salah satu relawan yang berhuni di kota seberang.

"Saya lihat kamu murung terus dari tadi, ada apa?" Dirga berharap jika Gia akan membagikan cerita kepadanya.

"Saya hanya kangen rumah saja, tapi saya masih betah di sini, mas," elaknya berusaha menghindar, ia tak mau air matanya jatuh di depan orang lain.

Dirga yang paham pun hanya menghela napas pasrah, ia sangat berharap jika Gia bisa terbuka kepadanya.

Beberapa hari di sini, Dirga diam-diam memantau aktivitas Gia yang selalu sabar membantu orang lain. Walaupun ada Genta, tetapi mata Dirga selalu tertuju kepada Gia.

Ia seperti mempunyai ketertarikan sendiri kepada gadis kota itu, melihat bagaimana caranya menolong dan memeriksa keadaan membuat dirinya terpana.

Dirga rasa, ia menyukai Gia pada pandangan pertama.

"Ceritakan saja, saya akan mendengarkan keluh kesah kamu." Bukannya memaksa, tetapi Dirga tak mau wajah murung itu terus terlihat. Ia ingin selalu melihat wajah ceria dari Gia, tanpa diselingi dengan wajah murung itu.

Sebelum bercerita, Gia menghela napasnya terlebih dahulu. "Saya sepertinya menyukai seseorang, mas. Tapi ... sepertinya dia memandang saya sebagai masa lalunya. Masa lalu yang sudah tiada, dan kebetulan mirip dengan saya."

Mendengar hal itu tentu saja membuat Dirga kepalang emosi, ia berusaha untuk menetralkan napasnya yang memburu, tak mau membuat Gia takut tentunya.

"Siapa yang kamu maksud?" Gia menggeleng pelan, tak mau memberi tahu orang tersebut. Akhirnya Dirga pasrah, ia memandang deburan ombak itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.

"Mungkin memang saya yang berlebihan, mas." Gia berusaha tertawa, tak memikirkan berbagai hal mengenai perasannya.

Berbeda dari Gia, Dirga memandangnya dengan tatapan sendu. "Tidak ada yang berlebihan, perasaanmu juga penting, Gia. Memang orang yang kamu sukai saja tidak bersyukur."

Gia menggeleng tak setuju. "Bukan begitu—"

"Kamu masih membela lelaki itu? Ayolah, kamu sudah disakiti oleh dia. Kenapa kamu masih baik dengan dia?" Dirga tak habis pikir dengan hati Gia, selembut apa hati gadis itu.

"Saya tidak membela, tetapi mas juga tidak ada hak untuk mengkritiknya." Gia mulai jengah dengan berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh Dirga, ia rasa lelaki itu juga tidak berhak untuk mencampuri urusannya.

"Sudahlah, mas. Terima kasih sudah mendengar keluh kesah saya, kalau begitu saya pamit dulu." Karena tak mau emosinya keluar, Gia memilih pergi. Ia berjalan menuju posko untuk melihat keadaan para korban yang sudah ditangani.

Jatukrama [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang