Guncangan hebat yang kembali melanda Bantul membuat semua orang merasa panik, dari posko pengungsian mereka saling menyelamatkan diri agar tidak terkena luka.
Beruntung posko pengungsian yang didirikan oleh lembaga setempat sedikit jauh dari rumah warga, hanya saja mereka takut jika pohon-pohon yang menjulang tinggi menimpa mereka.
Semilir angin yang cukup kencang juga menjadi pemandangan yang mencekam. Banyak para warga yang berbondong-bondong mencari perlindungan di mana saja.
Mereka semua panik, otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya agar guncangan yang cukup hebat ini segera terhenti.
Gia dan Genta yang semula berada di dalam ruangan kepala desa segera mencari perlindungan, mereka tak sempat untuk ke luar dari sana. Alhasil, keduanya masuk ke kolong meja yang berada di dekat pintu keluar.
Dengan sigap, Genta melindungi Gia dengan pelukannya. Bunyi beberapa barang yang berjatuhan menjadi suara yang cukup mencekam.
Bahkan lampu gantung yang berada di atas tubuh mereka sudah bergoyang-goyang, Genta yang merasa bahwa lampu itu akan terjatuh segera melindungi Gia. Ia memerintahkan gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.
Hanya beberapa detik saja, lampu gantung itu terjatuh dan terpecah belah. Bunyinya sangat nyaring hingga kedua anak manusia itu saling menutup telinga masing-masing.
"Pusing?" Gia mengangguk, mendengar suara itu membuat kepalanya berputar. Ia sangat tidak suka jika mendengar suara barang yang berjatuhan cukup keras.
"Tenang, ya? Sebentar lagi kita ke luar." Beberapa menit mereka berdiam diri, menunggu guncangan itu berhenti.
Tetapi sepertinya hal itu akan berlangsung lama, buktinya sekarang sudah banyak reruntuhan yang berjatuhan di dekat mereka.
"Takut, kak." Gia semakin mengeratkan pelukannya, ia menyembunyikan wajah yang memerah itu di balik jaket yang Genta pakai.
"Hei, tenang, oke? Ada saya di sini. Semuanya akan baik-baik saja." Genta memilih menangkup wajah itu, ia mengusap air mata Gia yang mulai mengalir.
"Tidak apa-apa, semuanya akan cepat berlalu." Gia menatap mata Genta dengan raut wajah ketakutan, entah mengapa jantungnya berdetak kencang tak biasanya.
Karena merasa situasi menjadi canggung, keduanya saling menoleh ke arah lain untuk menetralkan detak jantungnya masing-masing.
Untung saja, gempa susulan yang sempat mengguncang sudah sedikit mereda. Mereka bisa bernapas lega setelah bumi tidak berguncang kembali.
"Kita ke luar pelan-pelan, ya? Kamu harus selalu di belakang saya." Gia mengangguk, ia mengikuti langkah Genta secara perlahan.
Disaat mereka keluar dari tempat persembunyian, banyak sekali reruntuhan yang terjatuh di sekitar area. Keduanya saling melihat ke arah sekitar untuk berjaga-jaga.
Dengan rentang waktu yang singkat, tiba-tiba ada sepotong kayu yang berasal dari penyangga salah satu rumah. Untung saja, Genta segera membawa Gia ke dalam pelukannya.
"Kamu gapapa?" Gia mengangguk, jantungnya berdetak kencang tatkala melihat raut wajah yang khawatir itu. Ia juga sempat terkejut dengan aksi Genta yang menyelamatkannya dari reruntuhan.
"Lebih waspada, barang-barang di sini sangat rapuh. Sewaktu-waktu pasti akan tubuh." Genta semakin melindungi Gia dari barang-barang yang membuat waspada, setelah beberapa menit kemudian akhirnya keduanya bisa menghela napas lega.
"Kita langsung ke posko, kak. Pasti banyak korban yang terserang rasa panik." Gia segera mengambil lengan Genta untuk mengikuti langkahnya. Mereka berdua pun segera bergegas melangkah, takutnya banyak korban yang mengalami luka-luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama [PROSES REVISI]
Romance"Bencana tak selalu berakhir kecewa." Setelah menyelesaikan masa studinya selama 4 tahun, Gia berencana berlibur ke salah satu kota yang ada di daerah Yogyakarta. Saat tengah menikmati indahnya Pantai Parangtritis, tiba-tiba gempa dengan magnitudo 6...