Bertahan di dalam guncangan membuat diri benar-benar remuk. Air mata terkuras demi menahan sakit, darah menggenang akibat luka yang terus tersayat, dan bahu kian melandai karena tekanan yang tidak ada henti. Berkali-kali benak Sara hampir terbunuh oleh derita itu sebelum akhirnya kembali disadarkan oleh kalbu yang semakin luas dengan kasih sayang.
Ya, kasih sayang. Jika tidak karena itu, mungkin saja dia akan lupa dengan putranya.
Dua minggu berjalan, selama itu beberapa kali Sara masih berusaha untuk menemui Oza di rumah sakit demi mengobati rasa rindu dan memenuhi permintaan Afan yang ingin sekali bertemu sang ayah. Akan tetapi beberapa kali itu juga berakhir gagal karena selalu dihalangi oleh wanita bernama Cantika yang kini sering datang untuk membantu merawat Oza.
Belum sempat melihat Oza, Sara sudah diusir. Tentu Sara sangat sakit hati melihat sang kekasih bersama dengan wanita lain. Namun yang lebih membuatnya hancur adalah Afan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melihat lagi sosok ayah.
Sebagai istri, Sara mungkin masih bisa tahan banting, tapi tidak sebagai seorang ibu. Setiap malam dia harus mengumpulkan banyak alasan agar setiap kali Afan bertanya, dia bisa menjawab dengan masuk akal. Namun tak jarang juga dia sudah kehabisan kata dan berakhir mengalihkan pembicaraan. Sungguh, itu level penderitaan yang paling tinggi di hati Sara.
Malam akan sedikit lega ketika putranya sudah lelap. Berganti dirinya yang bergelut dengan lara. Beruntung, di rumah itu Sara tak sendiri. Masih ada Ais yang selalu menemani dan memberi tempat untuk mengeluh.
"Mbak Ais?"
"Iya?"
"Apa nanti saya akan dipaksa untuk menceraikan Mas Oza?"
Malam sunyi, tapi tidak dengan isi kepala yang sering kali memikirkan satu kemungkinan itu. Tentu Sara tidak akan mau, tapi tetap saja dia takut jika memang benar terjadi.
"Saya gak tahu, Mbak."
"Mereka tega banget. Mama juga yang selama ini selalu memeluk saya, sekarang cuma diam saja."
"Mungkin si ibu gak bisa melawan bapak, Mbak. Bapak, kan, orangnya persis banget kaya Mas Oza. Beliau gak suka ditolak, apalagi dilawan."
Sara sangat setuju. Mungkin saja perlakuan mama mertuanya selama ini adalah bentuk empati karena berada di posisi yang sama. Tidak bisa berbuat apa-apa dan yang ada hanya menurut. Beruntungnya Sara masih memiliki keberanian untuk membuat Oza tunduk. Dan tunduknya Oza, membuat Sara jatuh cinta sangat dalam hingga tak ingin ada perpisahan.
Air mata lagi-lagi meluncur, memberi tahu semesta bahwa hatinya kembali hancur. Tangan kini penuh luka karena selalu terkena serpihan batin yang pecah kala ingin merangkainya lagi.
Harapan tidak ada kecuali mengharapkan ingatan Oza cepat kembali dan pulang untuk memeluk lagi istri serta anaknya yang sudah sangat rindu. Tidak perlu ada perpisahan dan kapal pun bisa berlayar ke tujuan.
*****
Hari berikutnya dengan suasana hati tidak berubah namun terpaksa ditutup dengan senyuman, Sara berkutat di dapur dengan adonan brownies coklat yang ingin dia sajikan untuk sang anak tersayang.Bagi Sara, tidak ada kegiatan yang lebih menyenangkan dibandingkan memasak untuk meredam buncah. Aroma wangi coklat dari brownies yang baru keluar dari panggangan, membuat jiwa sedikit tenang dan hangat. Rasa bangga akibat berhasil membuat menu kesukaan orang tercintanya, menyelimuti batin dari ketakutan.
Sedih masih tetap tak mau hilang, mengingat Oza yang notabene sangat menyukai brownies buatan Sara, kali ini tidak bisa mencicipi. Benak memutar ulang bayangan wajah sang suami yang begitu menikmati rasa enak dari hasil masakannya dan juga telinga kembali diperdengarkan dengan rekaman apresiasi manis yang membuat haru kian berkuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...