Nyatanya rumah yang berdiri megah di tengah kota besar tak ubahnya seperti bangunan terbengkalai yang hampa jika tanpa keteduhan senyum bahagia. Apa gunanya kemewahan jika yang dipelihara hanya ambisi untuk mempertahankan mimpi yang semu? Dunia hanya sekedar mimpi, kan?
Setiap raga pasti akan berpulang pada tuannya. Setiap hembusan hapas pasti akan berhenti suatu saat nanti. Bumi selalu berputar. Lelah sekali jika terus berlari untuk mengejar ujung bumi yang mana tidak ada, kecuali bumi itu berhenti. Namun sayang, saat bumi itu berhenti maka kehidupan juga akan berhenti.
"Pa, sarapan dulu, yuk? Abis itu minum obat."
Suara teduh memecah hening yang memeluk Pak Santo di halaman belakang rumahnya. Laki-laki tua itu tetap duduk bergeming membelakangi sang istri dengan sorot mata kalut menerawang ke depan seperti sedang memutar bayangan di dalam benaknya.
"Pa?" Bu Ayun pun memilih untuk mendekat.
"Nanti saja," jawabnya singkat setelah mendapat tepukan dari Bu Ayun di pundak.
"Ini udah jam 9. Kata dokter gak boleh telat makan."
Pak Santo mengembuskan napas berat seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi tanpa menanggapi ucapan Bu Ayun. Perempuan itu pun tak lagi membuka suara dan kembali ke dalam rumah untuk langsung mengambilkan makanan serta obat. Baru saja mengambil piring, terdengar bunyi bel dari luar.
"Bi, tolong bukain dulu pintunya."
"Baik, Bu."
Si pembantu lalu bergegas membukakan pintu.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, Mbak Sara."
Merupakan hal sangat tiba-tiba ketika Sara datang setelah kemarin cukup bersitegang. Apalagi dia tidak sendiri, melainkan bersama Oza. Laki-laki itu agaknya dipaksa untuk tidak pergi kerja demi bisa memperbaiki hubungan lagi.
Sara mengukir senyum teduh, merespon raut terkejut dari si pembantu sebelum akhirnya dipersilakan masuk. Dia langsung menuju ke tempat Bu Ayun berada dan lagi-lagi menimbulkan keterkejutan yang luar biasa.
Dengan cepat Bu Ayun meletakkan piring yang sudah dia isi dengan nasi dan lauk pauk lantas mendekati Sara. Terkejut dan senang timbul bersamaan sehingga membuat tubuh ingin sekali memberikan pelukan erat. Selain itu juga sosok Sara menjadi orang yang begitu berharga setelah banyak hal terjadi selama ini. Air mata pun tidak mampu dicegah untuk mengalir.
Dengan senang hati Sara membalas pelukan sang mertua seolah sudah memberi maaf yang besar kendati dia mengatakan belum akan memberi maaf. Mau bagaimana lagi? Dia sudah lelah dalam segala rasa yang tidak nyaman. Sara hanya ingin tentram.
Pelukan pun berakhir dan memperlihatkan raut wajah masing-masing. Bu Ayun dengan air mata rasa bersalahnya dan Sara dengan senyum tulus tanpa dendam. Ah, terlihat baik sekali.
"Mama masih gak nyangka kalian mau ke sini," ucap Bu Ayun dengan suara bergetar lalu mengalihkan atensi pada Oza yang tak memberi reaksi apa pun. Sejak tadi laki-laki itu tidak melunturkan raut tidak suka di wajahnya.
"Maaf untuk yang kemarin, ya, Ma?"
Dengan cepat Bu Ayun kembali memindahkan perhatian pada Sara dan menggeleng. "Jangan minta maaf ke Mama. Kamu gak boleh bilang maaf. Kekecewaan kalian sudah sepantasnya dilampiaskan."
Sara mengembuskan napas, melonggarkan dada yang masih sering dihimpit rasa kecewa.
"Oh, ya, papa mana?" Sara mengalihkan topik sebab sejak tadi tak mendapati sosok papa mertua.
"Di belakang. Ini Mama mau ambilin sarapan biar bisa minum obat."
"Sakit apa?"
Wajah berubah sendu dan nampak berusaha tabah lantas kembali mengambil nampan berisi sajian untuk Pak Santo. "Jadi, kan, minggu lalu papa itu ngeluh maag. Katanya, kok, sakit banget. Waktu diperiksa ke dokter ternyata gerd."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
Художественная прозаMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...