Sedikit hal buruk yang dilihat, menutup berbagai hal baik yang sudah diceritakan. Alhasil, kasih sayang yang tak seberapa itu begitu tebal diselimuti dengan kekesalan yang nyata. Tak mengenakan menahan kebencian. Mulut terus berujar tak benci, namun nyatanya gelagat selalu ingin menumpahkan rasa benci.
Jika ditanya apa Afan senang melihat pemandangan di depannya sekarang, tentu bibirnya akan terbuka dan berkata senang. Dia bahkan ingin sekali memeluk figur tersebut seperti adik-adiknya, mencium punggung tangan dan juga menerima belaian. Tak berbohong, dia menginginkan semua itu.
Akan tetapi rekam jejaknya terlalu nyata dibandingkan cerita yang dia dengar. Laki-laki keren seolah samar di benaknya dibandingkan dengan laki-laki brengsek.
"Eh, baru bangun, Abang?"
Tidak terinterupsi oleh Sara, Afan terus melayangkan tatapan tak mengenakkan pada Oza yang sekarang juga menyadari kehadirannya.
"Afan?"
Sekarang sudah sama-sama mengetahui adanya ikatan sebenarnya di balik bartender dan pelanggan. Afan tak perlu lagi terkejut. Kini, sisanya adalah kekesalan yang diperlihatkan melalui kerutan di kening dan tangan yang mengepal.
Oza lalu mendekat dengan menunjukkan wajah terkejutnya. "Kamu ...."
Ternyata semakin menyakitkan jika ditatap dengan sorotan lunak seperti ini dari orang yang biasanya dia lihat selalu pongah. Sakit itu timbul sebab kenyataan mengatakan bahwa orang ini adalah ayah kandungnya.
"Selamat datang ... Ayah."
Afan tahu dia akan menjadi sangat keterlaluan. Tapi saat ini dia tak bisa mengendalikan emosinya sehingga kepalan tangan dengan keras menghantam perut si ayah. Tepat di ulu hati, membuat laki-laki itu sontak menundukkan badan seraya memegangi bekas pukulan.
Pasang mata yang menyaksikan pun dengan sigap berdiri, terutama Sara. Perempuan itu langsung mendekati sang suami yang terlihat kesakitan.
"Abang!"
Iya, ayah. Sejatinya dari dulu selalu berpaling dari semua hal tentang ayah, membuat rasa rindu tidak terlampiaskan sedikit pun. Afan benci semua hal yang dia dengar tak sesuai dengan apa yang dia lihat.
"Ternyata ayah gak sekeren apa yang selalu Ibu bilang. Ayah itu gak ada bedanya sama om-om tukang birahi yang suka gonta-ganti perempuan."
"Abang, dijaga bicaranya!"
"Kalau memang keren, gak mungkin suka menyia-nyiakan waktu dengan hal rendahan."
Sara ingin kembali menegur atas perkataan Afan, namun dengan cepat Oza menahannya setelah selesai meredam rasa sakit di perut. Napas lalu berembus pelan mengiringi sorotan yang semakin melunak saat menerima kilatan tajam dari Afan.
"Kamu benar. Ayah minta maaf."
"Afan jadi curiga, jangan-jangan dulu Ayah sering bermain di belakang ibu. Bisa saja hilang ingatan Ayah hanya pura-pura agar bisa berpisah."
"Afan!"
Sepertinya Sara sudah tidak tahan sampai membentak Afan. Seketika pemuda itu memindahkan perhatian. Belum luntur sorot marahnya, namun perlahan berair saat bersitatap dengan sang ibu.
"Ibu udah bilang berkali-kali dari dulu. Gak ada yang menginginkan perpisahan ini kecuali Pak Santo. Jangan nuduh kaya gitu."
"Bu, tapi Abang liat dia sering ke bar—"
"Itu gak penting. Ibu gak mau membahas lagi hal yang sudah lama Ibu buang."
Jujur, Afan tidak begitu mengerti. Tapi karena situasi terlalu tegang, benak pun berspekulasi sendiri bahwa ucapan Sara membenarkan caciannya tadi. Menyimpulkan bahwa Sara sadar akan perilaku Oza dan lebih memilih hanyut dalam kecintaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
Ficção GeralMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...