Berpindah lagi ke kota besar Jakarta di mana langit sudah cerah dan jalanan dengan kebiasaannya yang selalu macet di pagi hari. Tepatnya di salah satu rumah yang ada di komplek perumahan, seseorang menjalani awal harinya dengan bersiap pergi bekerja.
Rambut hitam rapi dipadukan dengan batik PGRI berwarna hitam putih, membuat orang tak perlu mempertanyakan apa pekerjaan laki-laki tersebut. Dia—Aryonanda Aza, seorang guru yang dikenal ramah oleh para muridnya dan bapak-bapak bersahaja di kompleknya.
Kini, terlihat laki-laki tersebut sedang menyemir sepatunya di teras rumah sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah hampir habis. Beberapa kali menyahuti para tetangga yang menyapa, membuat atmosfer terasa lebih asri di rumah itu.
"Abi, Zafa berangkat." Tak lama kemudian, seorang gadis remaja muncul dari rumah dalam keadaan sudah rapi dengan seragam sekolah. "Salim."
"Eh, jangan. Tangan Abi kotor abis pegang sepatu. Cium pipi aja sini."
Gadis bernama Zafa itu tersenyum lebar lantas mengecup pipi Aryo yang sengaja ditunjuk.
"Nah, makasih, cantik."
"Berangkat dulu, ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sejuk selalu menggelora setiap kali mendapatkan sentuhan kasih sayang dari orang tersayang. Aryo tak pernah merasa bahwa selama ini hidupnya kurang. Hari-hari berganti selalu diselimuti dengan kehangatan. Siang dan malam jarang dihampiri kegelisahan. Dunia seolah menjadi mimpi indah dan itu yang sangat membuatnya bersyukur.
Senyum terukir lama sampai anaknya itu menghilang dari pandangan mata. Hendak tangan melanjutkan kegiatannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Sepatu pun kembali diletakkan begitu pintu mobil tersebut terbuka dan seseorang keluar dari dalamnya.
"Oza?" Terperangah karena itu.
Entah sudah berapa lama Aryo tak bertemu Oza. Sejak kembali dari Malaysia bertahun-tahun lalu, hubungannya dan orang tua semakin renggang karena perbedaan pendapat. Dia pun memilih untuk tak sering berbicara pada mereka sebab tak ingin selalu beradu mulut. Dengan sang saudara kembar juga tidak lagi bertegur sapa, bahkan di hari raya. Bertemu saja sangat jarang dikarenakan Oza menjadi orang yang sangat sibuk.
Aryo refleks berdiri akibat keterkejutan akan kedatangan orang itu. Rasanya masih sangat tak percaya Oza datang ke rumahnya hari ini.
Laki-laki itu lantas berjalan menghampirinya di teras setelah beberapa saat terdiam. Oza masih terlihat sama di mata Aryo meski memori telah hilang bertahun-tahun yang lalu. Masih terlihat seperti pribadi yang pongah dengan wajah datar dan pandangan mata hanya ada sorot tajam.
Sepertinya Oza memang tidak pernah berubah. Dia hanya kehilangan memori.
"Gimana kabarmu, Yo?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Biasa aja."
"Papa sama mama sehat, kan?"
"Sehat."
Jujur, ingin saling berpelukan untuk mengatasi rindu. Akan tetapi mengingat hubungan dalam keluarganya yang kurang baik-baik saja, membuat sekat begitu tebal antara dia dan Oza.
"Oh ya ... Tumben banget ke sini. Gak sibuk?"
"Saya cuma mau bertanya sama kamu." Tak ada basa-basi panjang atau salam sebagai sambutan untuk pertemuan. Ya, begitulah Oza.
Sejenak Aryo menghela napas lalu mengajak Oza duduk. "Mau tanya apa?"
Terus terang, tujuan Oza benar-benar sangat menjengkelkan. Setelah sekian lama tidak bertemu seharusnya ada rasa haru. Tapi tidak, kakaknya itu justru bertingkah seolah ingin menagih hutang saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...