31. Rintihan memeluk

965 119 28
                                    

Hari mulai gelap dan jam menunjukkan angka 6. Masih senantiasa berada di lorong rumah sakit, Afan dan Adin duduk dalam kesunyian ucap. Keduanya ingin mendampingi Adit di dalam ruangan, tapi tak sanggup melihat kondisinya. Segala ucap yang penuh dengan sambat, saling tersampai kendati tanpa solusi. Kesedihan mungkin masih mengekang sehingga benak belum bisa tenang.

Beberapa saat kemudian Aryo keluar dari ruangan dan turut mendudukkan diri di samping Afan. Laki-laki itu nampak sibuk dengan ponsel dengan wajah yang cukup serius.

"Ini Om dapat kabar dari polisi. Katanya pelaku yang sempet kabur udah ketangkap."

Seolah mendapatkan pecutan, Afan dan Adin seketika menoleh dan mengarahkan atensi ke layar ponsel Aryo.

"Terus?"

"Kata polisi, satu orang yang jadi dalang. Teguh namanya. Dia bayar tiga temannya untuk bantu mencelakai Adit."

Afan dan Adin saling berpandangan. Firasat mereka sangat tepat. Memang tidak ada yang dicurigai selain orang itu mengingat rasa benci yang selalu diperlihatkan pada Adit selama ini.

Tak lama kemudian, ponsel itu berbunyi dan langsung diangkat oleh si pemilik sembari berdiri. "Ya, Pak? Bagaimana?" Aryo sedikit menjauh.

Kembali lagi Afan dihantam oleh huru-hara murka yang tertahan. Di atas pangkuan, tangannya mengepal kuat bersama rahang yang mengeras. Andai saja tidak ada norma di dunia ini, pasti darah akan dia balas dengan darah juga.

Dunia memang terlihat tidak adil jika hukuman tidak sepadan. Luka yang dalam, hanya dibalas dengan penantian di dalam penjara. Namun, aturan tetap dibuat dan harus dilaksanakan demi mempertahankan citra manusia yang beradab.

"Brengsek," umpatnya pelan. Dia menangis, tapi tidak dibarengi dengan ratapan. Hatinya masih sangat keras untuk berlapang.

Beberapa saat kemudian Oza keluar dari ruangan dan menghentikan langkah di depan Afan. Dia lalu mengalihkan perhatian pada sang ayah, menyorotkan sirat kekecewaan yang kembali timbul.

Tidak ada sapaan bahkan sorotan atensi, Oza langsung mendekati Aryo. Dua saudara itu nampak berbincang sejenak. Agaknya mengenai pelaku sehingga membuat Oza tak bisa menahan berbagai umpatan. Afan lalu berdiri dan mendekati keduanya.

"Gak usah ke kantor polisi. Mending fokus ke kondisi anak kamu dulu. Jangan dikendalikan amarah," tutur Aryo pada Oza.

Seolah angin lalu, Oza tidak mengindahkan ucapan Aryo. Laki-laki itu begitu saja melenggang pergi ke arah luar rumah sakit. Tak ingin tertinggal, Afan menyusul. Sebenarnya dia hanya ingin berbicara dengan Oza, bukan mau mengikuti emosi untuk pergi ke kantor polisi meskipun sebenarnya dia sangat ingin melihat rupa pelaku.

"Yah!"

"Gak usah ikut, Bang."

Oza tak memberi jeda langkah menuju lokasi parkir mobil. Dia pikir Afan akan menghentikannya.

"Ayah!" Afan lekas meraih bahu sang ayah sebelum membuka pintu mobil. "Mau apa Ayah ke kantor polisi?"

Saat itu juga akhirnya Oza berbalik, memperlihatkan sirat emosi yang sama dengan Afan tapi tanpa air mata.

"Ayah gak usah jadi pahlawan kesiangan!"

Afan berpikir kejahatan sudah ada yang menangani kendati memang belum memuaskan. Namun setidaknya hal itu mengurangi resah. Sekarang satu-satunya yang membuat murka membara adalah sang ayah. Entahlah, dia rasa ayahnya ini bukan orang bijak. Jauh berbeda dengan Aryo.

"Abang rasa percuma Ayah mencak-mencak. Ayah gak tahu Teguh. Ayah gak tahu kenapa dia benci sama Adit." Nada bicara melunak, tapi tidak menghilangkan kesan tajam di kalimatnya. "Ayah itu gak tahu apa-apa."

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang