22. Laki-laki hebat katanya

937 108 37
                                    

Kemacetan di sore hari membuat perjalanan sangat terhambat, terlebih tadi ada insiden kecelakaan kecil di tengah jalan. Aryo pun baru tiba di rumah pada saat azan magrib berkumandang.

"Kok, baru pulang, Bi?" Sang istri--Ishana, menyambut kedatangannya dengan mencium punggung tangan seperti biasa.

Aryo lalu mendudukkan diri. "Abi tadi nganterin murid yang kena insiden ke rumah sakit. Kepalanya luka."

Pasangan yang baik adalah pasangan yang mau mendengarkan setiap kisah, meski hanya kisah sederhana. Ishana ikut mendudukkan diri dan melimpahkan seluruh atensi pada Aryo. "Insiden apa?"

"Yang jelas bullying. Dan Umi tahu, gak? Murid itu ternyata adalah keponakan Abi."

Seketika raut wajah Ishana berubah. Kening berkerut bingung. "Keponakan gimana?"

"Tadi Abi ketemu Sara. Murid yang Abi antar ke rumah sakit itu adalah anaknya Sara ... anaknya Oza juga. Ternyata selama ini mereka tinggal di Tangerang dan Abi ngajar keponakan Abi sendiri."

Kabar mengejutkan yang berisi kegembiraan. Tak bisa dielakkan rasa resah akan keberadaan Sara selama ini, mereka selalu bertanya-tanya di mana dia berada. Ishana yang mendengarnya pun tersenyum lebar dengan mata berbinar. Syukur dalam hati terucap berkali-kali untuk berterima kasih pada Tuhan yang telah menjawab doa.

"Terus Abi mau langsung kasih tahu Mas Oza?"

"Iya. Nanti Abi mau coba hubungi. Semoga bisa."

Aryo memang hendak membawa Oza pada Sara. Terdengar mudah apalagi dua bulan lalu kembarannya tersebut sudah mulai menyadari masa lalunya. Akan tetapi sebenarnya tidak semudah itu untuk bisa berbicara pada Oza.

Hari setelah Oza ke rumahnya kala itu, Aryo pernah mengirimkan pesan lewat WhatsApp. Sampai sekarang tidak pernah dibaca dan ditelpon pun jarang sekali diangkat, sehingga dia berpikir bahwa tantangannya adalah menemui Oza sendiri. Dia kerap memaklumi bahwa saudaranya itu orang penting yang bisa saja memiliki banyak kesibukan, sehingga tak sering bermain ponsel.

Setelah makan malam, Aryo menepi ke ruang tamu dan mulai mencoba menghubungi nomor telepon Oza. Satu kali panggilan tidak dijawab, dua kali pun masih belum dijawab, hingga panggilan ke empat masih diperdengarkan nada sambung saja.

Aryo menggeram frustrasi. "Sebenarnya buat apa dia beli ponsel? Apa cuma jadi barang rongsokan aja?" gerutunya.

"Mungkin masih sibuk." Ishana tetap memberi prasangka positif.

Lagi, Aryo menekan tombol panggil dan kali ini dia berdiri demi menahan kesabarannya. Langkah-langkah mondar-mandir, mengiringi nada sambung yang terus saja berdengung hingga akhirnya suara dari seberang sana menjawab.

"Cepat bilang, saya sibuk."

Langkah Aryo terhenti. Entah kenapa rasanya ingin sekali melayangkan kepalan tangan pada Oza. Kesabarannya benar-benar diuji saat ini.

"Gini, ternyata selama ini Sara tinggal di Tangerang. Saya baru ketemu sama dia hari ini dan dia sama sekali gak nikah lagi. Dia masih nunggu kamu, Za."

"Sara ... siapa?"

Aryo terhenyak. Dia rasa baru dua bulan, apa itu sudah sangat lama? Seberapa kecil sekarang otak Oza sampai mudah lupa?

"Kamu sempat menanyakan soal masa lalumu dua bulan lalu. Kamu sudah lupa?"

"Oh, Sara yang itu?"

Napas berat berembus. Entah kenapa lelah sekali rasanya berbicara dengan Oza untuk saat ini. Aryo memijat pangkal hidungnya seraya berdecak.

"Kamu bilang dia sudah menikah, jadi saya gak lagi mikirin."

"Itu hanya dugaan. Ternyata dia belum menikah sama sekali. Kalian masih sah. Besok saya mau ngajak kam—" Tiba-tiba kalimatnya berhenti saat mendengar suara mencurigakan di seberang sana.

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang