"Tadi ada yang salah orang."
"Salah orang gimana?"
"Ada perempuan tiba-tiba gandeng tangan Om Aryo waktu beli baju. Dia kira suaminya karena pake baju warna sama."
Ada sedikit rasa manis di malam Minggu kali ini. Selain adanya buah mangga yang dibawa Ishana tadi siang, Sara melihat kelegaan dari dua anaknya yang membuat malam ini terasa berbeda dari malam biasanya. Mereka terlihat sangat menikmati hari yang sudah terlewati tanpa mengeluhkan beban sedikit pun.
"Haha, kocak. Terus Om Aryo gimana?"
"Ya sama-sama malu. Abis itu ngajak pindah tempat."
Sara hanya mendengarkan seraya sibuk mengupas mangga, tidak ingin menyela Adin dan Adit yang begitu antusias. Rumah terasa lebih hangat jika dipenuhi dengan senyuman seperti ini.
Tak lama kemudian Afan datang dan bergabung. Berbeda dari dua saudaranya, pemuda itu sama sekali tidak menampakkan keceriaan, justru sebaliknya. Tanpa ucap, Afan mengambil sepotong mangga lalu melahap buah itu.
"Abang mau resign," ucapnya sembari mengunyah.
"Kenapa, Bang? Kok, tiba-tiba?"
Setelah pertemuan dengan Aryo, Sara memang merasa harapannya lebih terbuka lebar. Senang dirasakan bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga anak-anak, kecuali Afan. Pemuda itu beberapa hari menunjukkan sorot lesu dan sama sekali tidak banyak berbicara.
"Abang rasa Abang udah capek kerja di Jakarta. Abang mau nyari di Tangerang aja biar lebih dekat sama rumah."
Entah apa yang dipikirkan, Sara merasa khawatir jika Afan mengalami kendala di tempat kerja. "Abang gak ada masalah di tempat kerja, kan?"
"Enggak, kok, Bu. Abang sekalian hemat uang bensin." Afan mengukir senyum hambar yang cukup mengartikan keluh kesah.
Alasan yang diucapkan Afan terdengar sudah biasa untuk menjadi sebab banyak orang memilih pindah tempat kerja. Sara juga pernah merasakannya. Namun mendengar itu sedikit membikin terenyuh hati.
Kata hemat memanglah bagus artinya, Afan berarti paham kondisi. Akan tetapi bagi Sara jika kata hemat dijadikan alasan terus menerus, hidup seolah benar-benar terkekang. Berkecukupan tapi terasa seperti orang tidak mampu. Hal itu membuatnya merasa belum cukup untuk bekerja keras.
"Kemarin Abang udak dapat loker. Gak jauh dari sini."
Sara tidak bisa berujar banyak. Dia sudah berkomitmen untuk menyetujui apa pun keputusan Afan selagi itu baik bagi dirinya dan keluarga.
"Ya udah, terserah Abang."
*****
Terlahir di keluarga kaya adalah suatu keberuntungan bagi Oza. Sejak kecil dia tidak pernah kekurangan. Makanan selalu enak, baju sering baru, uang saku tidak pernah habis dan lain sebagainya sampai hal itu tidak menjadi masalah hidup.Akan tetapi Oza tetap manusia yang masih saja merasa kurang. Di tengah harta berlimpah, dia menginginkan ruang untuk dirinya bergerak bebas. Seharusnya itu hal yang mudah digapai entah dengan uang atau kekuasaan. Namun sayangnya kekayaan tidak menjamin dia mendapatkan kebebasan.
Oza ingin bebas memilih jalan ke mana dia harus berpetualang tanpa ada campur tangan orang lain termasuk orang tua. Dia ingin bebas memilih pekerjaan apa yang ingin dia jalani. Dia ingin bebas memilih dengan siapa dia menghabiskan waktu seumur hidupnya.
Dengan sifat yang seenaknya, Oza pikir tidak akan ada yang cocok untuk menemani hidupnya. Dia pikir semua perempuan yang melihatnya hanya menginginkan harta. Tapi ternyata ada satu orang yang begitu tulus memberikan maaf serta hidup untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...