Menganggap hidup sederhana, sebenarnya juga tak sesederhana itu. Takut masih saja datang kapan pun mendera hati hingga menimbulkan cemas saat diam. Sulit dikendalikan meski motivasi berkali-kali diucap dalam batin.
Pagi kembali datang. Seperti biasa Adit, Adin dan ibunya sarapan dengan menu yang sederhana. Tidak dengan Afan, sebab abangnya itu sudah berangkat kerja sejak pagi tadi untuk mengindari macet.
Adin membawa banyak cerita untuk diperdengarkan di meja makan sehingga sarapan tak hanya diisi dengan suara alat makan. Gadis itu dengan semangat berkisah pada sang ibu sampai waktu terulur cukup lama untuk menghabiskan sepiring nasi.
Adit ingin sekali menimbrung, namun jiwanya pagi ini seolah tak terbangun dengan semangat membara. Dia terlihat sangat tak berselera sama sekali meski menu pagi ini adalah ayam goreng.
"Ujian akhir semester kapan? Bareng, kan?" Sara mengalihkan pembicaraan setelah Adin selesai dengan ceritanya.
"Adin dua minggu lagi. Gak tahu di sekolah Adit."
"Sama, kok. Adit juga dua minggu lagi."
"Ya sudah kalau gitu."
Akhirnya sarapan selesai. Dua remaja itu segera berangkat mengejar jarum jam yang hampir menunjukkan pukul 7.
"Cepet, Dit!"
"Lo, sih, kebanyakan cerita."
"Ya, maaf. Lagian lo juga ngelamun mulu, gak ngingetin."
Adit mempercepat laju motornya menyusuri jalan pintas menuju ke sekolah Adin. Tak ada kalimat yang terucap lagi, gadis itu segera masuk ke lingkungan sekolah setelah turun dari motor.
Telat bukan masalah bagi Adit. Jika pembelajaran sudah dimulai, paling-paling yang ditujunya adalah kantin sampai ganti pelajaran berikutnya. Yang menjadi masalah adalah Teguh dan teman-temannya.
Dia punya juga teman tapi tidak ada yang berani dengan tukang bully. Mereka lebih memilih menghindar daripada ikut campur. Adit juga ingin seperti itu, namun sayangnya dia yang selalu dijadikan sasaran.
Kapan kebebasan itu akan terasa? Adit ingin bersekolah dengan leluasa.
Akhirnya dia pun sampai dan langsung memarkirkan motor di lahan parkir. Tak perlu susah-susah menghindar sebab kedatangannya sudah ditunggu oleh para pemuda arogan itu.
Adit menghela napas panjang sekaligus lelah. Mau tak mau dia tak boleh menunjukkan ketakutan. Sebisa mungkin rasa gelisah harus dia tepis dengan keberanian.
"Gue gak terima sama omongan lo kemarin, asal lo tahu. Sekarang minta maaf sama gue."
Helm masih di tangannya. Adit bisa saja langsung melempar benda itu ke kepala Teguh, akan tetapi tiba-tiba dia mendapatkan tendangan pada kedua betisnya dari belakang dengan keras hingga lututnya terjatuh tepat di depan kaki Teguh. Pelakunya tentu teman-teman si pembuli ini.
"Sujud lo."
Amarah mencoba mendorong nyali. Adit kembali berdiri, tapi lagi-lagi kakinya mendapatkan tendangan ditambah hantaman keras di punggung hingga membuatnya hampir tersungkur jika tidak langsung ditopang dengan tangan.
"Gak usah sok keras, Dit. Lo nurut, lo bakal aman."
Lagi, Adit mencoba untuk mempertahankan harga dirinya dengan kembali bangkit tanpa sedikit pun berucap. Akan tetapi sekali lagi tubuhnya dibuat tumbang oleh para pemuda ini yang berjumlah 4 orang.
Geram sepertinya mereka. Tubuh Adit pun dijadikan bulan-bulanan. Hantaman demi hantaman dari sol sepatu mereka mengenai seluruh badan termasuk kepala dan wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...