19. Sederhana yang penting

784 110 45
                                    

Mengesampingkan amarah dan lebih memilih untuk menuruti permintaan sang ibu, Adit akhirnya keluar dari sekolahnya dan mendaftar ke sekolah sang adik. Seharusnya dia bisa untuk langsung pindah tanpa harus mengulang. Akan tetapi dikarenakan tidak tersedianya kursi untuk angkatan yang sama dengan Adin, maka terpaksa Adit harus mengulang dari kelas 10 lagi.

Beruntung Adit hanya menunggu selama 2 bulan saja sampai dibuka pendaftaran siswa baru dan kini akhirnya dia bisa kembali bersekolah dengan tenang, tanpa ada gangguan. Suasana jauh lebih berbeda dengan banyak keramahan.

Waktu istirahat tiba. Adit segera menuju ke kantin untuk meminta kotak bekalnya yang dibawa Adin. Begitu sampai, ternyata kantin sangat ramai. Beberapa guru dan siswa bercampur untuk mengisi tenaga mereka di sini. Terus terang, Adit cukup takjub dengan suasana itu. Semua nampak berbaur tanpa ada yang bersikap seenaknya.

Dilihatnya Adin tengah duduk seorang diri sambil memakan bekal. Dia lantas mendekat dan langsung duduk di hadapan si adik hingga membuat gadis itu terkejut.

"Kok, lo sendirian aja? Temen lo mana?"

"Lagi bantuin guru. Nih, bekal lo."

"Makasih."

Keduanya dengan tenang memakan bekal masing-masing yang sebenarnya sama, yakni hanya beberapa potong kue buatan sang ibu.

Karena masih baru, Adit sesekali memperhatikan beberapa lapak penjual makanan yang berjajar, di mana banyak siswa-siswi mengantri membeli makanan. Tak ada narasi, dia hanya memperhatikan saja demi menyibukkan atensi di saat mulut sedang mengunyah makanan. Sampai pada akhirnya keheningan dipecah oleh seseorang yang tiba-tiba hadir tanpa disadari.

"Hayo, berduaan aja. Nanti diganggu setan, loh."

Sontak mereka pun menoleh ke arah si pelaku. Adit yang hendak menelan, hampir saja tersedak begitu tahu yang datang adalah guru.

"Ih, Pak Aryo ngagetin," protes Adin.

"Pacaran, ya?"

"Enggak, Pak. Dia abang saya."

"Oh, abang? Kirain pacar."

Adit segera melonggarkan tenggorokannya yang agak tersumbat. Setelah itu dia langsung tersenyum canggung saat Aryo mendudukkan diri di sampingnya.

"Kita kembar, Pak."

"Kembar? Tapi, kok, saya baru liat kamu, ya?"

"Iya, soalnya saya murid baru di sini. Harusnya udah kelas 11, tapi karena pindahan dari SMK jadi ngulang lagi kelas 10."

"Oh gitu."

Karena hadirnya Aryo di tengah-tengah mereka berdua, makan pun terasa canggung untuk dilanjutkan kembali. Sangat sungkan rasanya sebab yang tertua tak membawa makanan apa pun.

"Pak Aryo gak makan?" tanya Adin setelah jeda beberapa saat.

"Udah pesan. Saya duduk di sini karena meja yang lain udah penuh. Gak papa, kan?"

"Oh, gak papa, kok."

Meski sudah seperti itu, Adit dan Adin masih enggan untuk makan. Bagi mereka jika sudah satu meja makan, maka semua harus makan. Tak adil jika salah satu belum melahap apa pun namun yang lain sudah kenyang. Memang agak berlebihan dan mereka tak bisa menghilangkan rasa kebersamaan yang sudah tersugesti sejak kecil.

"Pak Aryo mau cobain kue buatan ibu kami? Enak, loh." Masih Adin yang berbicara, sebab gadis itu yang lebih dulu akrab dengan Aryo.

"Boleh." Dan dengan senang hati Aryo mengambil satu potong kue di dalam kotak bekal milik Adin lantas melahapnya.

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang