"Sebelumnya saya memang belum memastikan, karena kejadian seperti ini belum tentu mengakibatkan amnesia. Benturan cukup serius mengenai kepala hingga mencederai sistem limbiknya. Resikonya banyak, dan yang cukup fatal adalah kehilangan memori."
"Tapi nyatanya anak saya gak inget namanya sendiri. Dia kaya orang linglung gak tahu apa-apa, Dok."
"Iya, Ibu. Saya telah melakukan pemeriksaan kembali dan dengan berat hati saya mengatakan bahwa Mas Oza mengalami amnesia. Dia kehilangan memori masa lalunya, bahkan saat kecelakaan pun dia tidak ingat."
Seperti pohon yang kehilangan akarnya, Sara seketika tumbang. Dia terduduk lemas di kursi tunggu yang ada di depan ruangan Oza. Rongga mata memerah dan basah, mengantarkan pandangan kosong mengarah ke depan. Bayang-bayang yang dia lihat menjadi sangat berantakan. Angan untuk kembali nyaman, hancur. Memori yang sudah diukir selama ini, hilang begitu saja.
Berat untuk diterima, namun karena cinta dan kasih sudah tumbuh sangat subur, Sara tidak akan goyah bagaimana pun itu kondisi suaminya. Banyak saksi bisu yang bisa menulis kembali memori yang lenyap.
Dengan cepat Sara menyeka air mata, lalu berdiri dan masuk ke dalam ruangan Oza. Senyum lebar seketika terukir ketika laki-laki tersebut langsung menyadari kehadirannya.
"Kepalanya masih sakit banget?" Dia mendudukkan diri di kursi biasanya yang ada di samping ranjang.
"Udah mendingan."
Memaksa senyum saat hati teriris, rasanya benar-benar menyiksa. Oza terlihat seperti orang bingung, tersesat tidak tahu arah. Pandangan sering kali mengamati sekeliling ruangan seolah tidak pernah melihatnya.
"Mas Oza?"
Entah seberapa parah hilang ingatan yang dialami, Sara rasa sudah cukup serius melihat Oza yang tidak merespon sama sekali saat dipanggil. Dia pun memilih memegang lengan laki-laki itu dan sedikit menggoyangkannya.
"Mas?"
"Iya?"
Terlihat polos, tak seperti tatapan biasa yang tajam dan penuh sirat. "Mas Oza ... Aryonanda Oza, namanya."
"Oh, iya. Nama saya Oza. Nama kamu?"
Satu tangan di atas pangkuan menjadi satu-satunya yang bisa melampiaskan emosi dengan mencengkeram kuat ujung bajunya. Setegar apa pun Sara, perkenalan dua kali tetap membuat hati jatuh. Memori-memori itu benar-benar sudah hilang.
"Saya Sara ... istri Mas," jawabnya sambil terus memaksa senyum.
"Istri?"
Sara belum bisa memberi informasi banyak-banyak sekaligus. Oza pasti akan memaksa untuk mencari ingatan tersebut dan itu malah membuat kepalanya dihujam pening. Percuma saja untuk saat ini, kepingan memori butuh waktu untuk disatukan dan Sara tahu pasti tidak akan sebentar.
"Saya kenapa, ya?"
"Mas jangan maksain kepalanya buat ingat. Tubuh Mas masih lemah."
"Tadi nama saya siapa?"
Sara lemah, Sara tak ingin terus melihat Oza dengan kepala kosong seperti ini. Sungguh, itu sangat menyakitkan. Nakhoda-nya sedang terluka, membuat kapal kembali terombang-ambing tanpa arah. Benak pun mendorong untuk terjun saja ke dalam lautan, namun hati terus memaksa untuk bertahan.
"Aryonanda Oza ... Oza."
*****
Setelah Oza sadar, hari berikutnya Sara memutuskan pulang untuk menemani Afan yang mendadak demam. Anak itu belum sempat menemui sang ayah lagi sehingga kemungkinan Oza belum sadar jika dirinya memiliki seorang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
Fiksi UmumMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...