30. Senandika dalam resah

1K 112 34
                                    

Waktunya pulang. Tak biasanya yang nampak hambar di muka setiap kali menjalani hari, kali ini Adit terlihat lebih bergairah dan senyumnya menjadi sering terukir. Di sekolah tidak ada gangguan, di rumah pun sudah tak lagi dirundung sendu. Atmosfer lebih terasa hangat dari sebelum-sebelumnya. Tak hanya Adit, Adin juga merasakan hal yang sama. Mereka kini sama-sama terlihat lebih bersemangat.

"Adin."

Saat melangkah menuju tempat parkir, tiba-tiba seseorang menyerukan nama Adin dari kejauhan, membuat langkah keduanya berhenti.

"Waduh, dipanggil Bu Anti. Bentar, Dit."

"Iya udah sana, gue tunggu di depan gerbang."

Adit pun lekas mengambil motor lalu memberhentikannya di depan gerbang sekolah. Sambil menunggu, pemuda itu menghampiri abang penjual batagor yang kebetulan sedang sepi pembeli.

"Goceng dua, Bang."

"Oke."

"Ke mana aja? Gak kelihatan beberapa hari."

"Bapak saya baru aja meninggal, Dek."

Mendengarnya seketika Adit berucap belasungkawa. Pantas saja raut wajah si abang terlihat sendu. Kepergian dari orang tercinta memang meninggalkan kesedihan yang tidak bisa ditutupi.

"Sakit apa?"

"Sebenarnya udah lama sakit sesak, udah tua juga."

Sebenarnya Adit juga tidak ingin tahu permasalahan orang lain. Namun, nurani terdorong begitu saja untuk memberikan simpati kecil kendati hanya ucapan sabar.

"Yang lain udah pada ikhlas, karena kasihan liat bapak tiap malem sesak terus. Tapi saya-nya yang belum. Soalnya baru 2 tahun nemenin. Waktu kebersamaannya kurang banget."

"Emang Abang ke mana?"

"Saya merantau. Nyari uang lebih, Dek. Gara-gara bapak sering sakit, jadinya berhenti."

Adit terdiam. Tatapannya terarah pada wajan yang tengah menggoreng batagor, tapi benak sibuk mencerna apa yang dia dengar hingga menghasilkan senandika yang diucap batin.

"Umur gak ada yang bisa nebak. Kalau saya tahu, mungkin saya bakal berhenti merantau sejak lama dan mencari kerja di sini biar lebih banyak waktu sama orang tua."

Setuju. Biar bagaimanapun kebersamaan dengan keluarga adalah hal yang lebih berharga dari uang. Jika ada satu saja yang berpulang lebih dulu, maka hanya ada penyesalan yang timbul.

"Nih, Dek."

"Makasih, Bang."

Adit kembali ke motor dan memilih menikmati batagor sambil duduk di atasnya. Masih menunggu kedatangan Adin, dia mengunyah makanan itu sembari bergeming membiarkan kisah si abang mengisi waktu luang di dalam benak.

Kebersamaan .... Entah kenapa Adit menjadi cemas begitu ingat mengenai umur. Bersama dengan mulutnya yang sedang mengunyah, dia memikirkan tentang 16 tahun yang tidak lengkap.

Makanan dia telan lalu kembali melahap satu potong dengan bumbu kacang yang tidak terlalu pedas. Sembari itu, bayangan satu persatu keluarganya melintas lantas mengkhayalkan berkumpul di dalam kebahagiaan. Hati pun berucap, semoga saja ayahnya panjang umur agar bisa merasakan kebersamaan lebih lama.

Adit tak memiliki amarah yang dia simpan untuk ayahnya, sungguh. Berbeda dengan Afan yang masih canggung dan enggan untuk berkumpul, Adit malah ingin segera satu atap. Dia tak ingin memperparah luka masa kecil dengan ego yang sebenarnya hanya akan merenggangkan ikatan. Ego ... hanya akan membuang-buang waktu dan memunculkan penyesalan jika terjadi kegagalan.

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang