32. Maaf yang tak bosan

1K 105 15
                                    

"Hartamu seberapa? Bapakmu kerja apa? Kok, kelakuan udah kaya penguasa."

Pagi menjelang agak siang, diam-diam Oza pergi ke kantor polisi. Dia menitipkan berbagai perlengkapan pada Afan dan Adin untuk dibawa ke rumah sakit lalu pergi tanpa sepengetahuan siapapun.

Maaf, Oza belum puas jika belum melihat figur penjahat yang ternyata masih bocah. Emosinya kini lebih terkendali jika dibandingkan dengan semalam. Andai tidak dihentikan Afan, mungkin bisa saja dia akan mengacaukan kantor polisi.

Di hadapannya sekarang ada salah satu pelaku yang menurut keterangan polisi adalah pentolan dari tragedi yang menimpa Adit. Dia mengajukan beberapa pertanyaan yang belum juga mendapatkan jawaban. Pemuda itu hanya bisa tertunduk dengan rasa penyesalan.

"Jangan merasa paling sempurna. Jangan juga merasa paling kaya. Bapakmu pejabat aja, gajinya cuma bisa buat beli jam tangan saya," tutur Oza dengan lebih kalem tapi tetap memasukkan emosi di dalamnya yang membuat untaian kata itu sangat tajam.

"Kalau Adit salah, tinggal aduin ke guru. Ngapain repot-repot mau ngilangin nyawanya? Kamu udah buang-buang uang, ujung-ujungnya masuk bui. Yang paling rugi itu orang tua kamu."

Yang dituturi tetap diam. Sedikit saja tidak berucap bahkan mengangkat wajah. Terlihat sekali sangat ketakutan dengan kehadiran Oza.

"Saat ini saya gak bisa meluapkan amarah. Biar aja hakim nanti yang menentukan hukuman."

Akhirnya ucapan Oza tersebut membuat Teguh mengangkat kepala. Matanya basah mengiringi sorotan penyesalan yang mendalam.

"Saya menyesal, Om."

"Bagus. Jadikan pembelajaran agar bisa menjalani hidup lebih baik. Untungnya semalam saya gak jadi ke sini. Kamu bisa saja habis di tangan saya."

Perkataan Afan masih terngiang, membuatnya merasa tak pantas untuk marah-marah. Lagi pula benar kata Aryo, Oza harus lebih memperhatikan anaknya dibandingkan pelaku. Hukum sudah ada dan polisi selalu bersiap sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Ya sudah. Kayanya cukup. Biar bagaimanapun, kamu harus bertanggung jawab."

Petugas pun kembali mengantar Teguh ke dalam sel sedangkan Oza memilih untuk kembali ke rumah sakit. Sedikit ada kelegaan setelah bertemu pelaku dan mendengar kata penyesalan. Sekarang tidak ada lagi alasan untuknya mempertahankan emosi mengenai kasus ini. Adit lebih membutuhkan perhatiannya ketimbang penghakiman bagi pelaku.

Laki-laki itu pun akhirnya sampai di rumah sakit setelah sebelumnya mampir ke beberapa tempat untuk membeli makanan. Sara sudah memberi kabar bahwa Adit sudah sadar sejak subuh dan kini juga sudah dipindah ke ruang rawat, sehingga benar-benar menghilangkan rasa cemas yang berlebihan.

"Assalamualaikum," ucapnya sambil membuka pintu.

"Waalaikumsalam." Sara menjawab seraya menyuapi Adit. Tak lupa, di dalam ruangan juga ada Afan dan Adin yang sedang duduk sofa.

Melihat Adit sudah mampu mendudukkan diri, Oza mengukir senyum. Dia meletakkan bingkisan ke atas meja yang ada di depan kedua anaknya lalu mendekati Sara dan mengambil alih mangkok makanan Adit. "Biar saya saja yang suapin."

Sara menurut. Dia berdiri agar Oza bisa duduk di kursinya lantas beralih ke sofa untuk membongkar apa yang tadi sang suami bawa.

"Dari mana aja, Yah?" tanya Adit. Sejak sadar dari tadi, baru dilihatnya sang ayah saat ini.

"Dari ... kantor polisi." Oza menjawab dengan pelan. "Cuma mau liat Teguh itu orangnya gimana," lanjutnya sambil menyuapkan makanan pada Adit.

"Ayah gak gebukin dia di kantor polisi, kan?"

Kapal Tanpa Nakhoda | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang