Usaha tak akan mengkhianati hasil. Afan yakin dengan kalimat tersebut. Sabar dan usaha telah dia lakukan dengan harapan akan mendapatkan hasil yang dia inginkan, namun ternyata itu masih kurang. Mungkin saja hasil masih belum cukup menerima usahanya sehingga dia dituntut untuk berusaha kembali.
"Gimana, Fan?"
"Gak lolos gue."
"Yah, sayang banget."
"Kuotanya dikit dan kemarin ternyata pendaftarnya banyak. Waktu tes udah yakin banget gue, tapi ternyata masih saja kurang."
"Berarti belum rejeki."
Ya, memang belum dan seharusnya dia bisa mencoba lagi sampai hasil itu dapat diraihnya. Akan tetapi ternyata mempertahankan tekad jadi semakin sulit setelah mendapatkan kegagalan sekian kali. Kini, Afan menyerah. Dia tak ingin lagi memberi harapan pada dirinya sendiri dan juga sang ibu untuk menggapai mimpi di tengah kondisi yang tidak begitu mendorong.
"Ya udah. Kayanya gue bakal berubah haluan jadi supervisor di bar ini nanti."
"Daftar aja di kampus negeri lewat program pemerintah lagi. Terus ambil jurusan lain yang lebih gampang, pasti lo keterima."
"Gak mau, lah. Lebih baik nyari duit."
"Masuk kedokteran lewat reguler aja udah susah apalagi jalur gratis. Orang lain, mah, yang penting bisa kuliah, Fan."
"Ya jangan disamain, dong. Gue niat kuliah cuma buat jadi dokter. Kalau ujung-ujungnya gak jadi, buat apa gue kuliah?"
"Ya udah, deh. Terserah lo aja."
Afan memang terlalu menuntut diri dan tak memberi waktu lebih sehingga mudah sekali menyerah. Itu sudah menjadi keputusannya sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi lewat jalur beasiswa. Sekarang dia berpikir bahwa dirinya harus memilih jalan ini saja. Jalan di mana dia harus bekerja lebih keras.
Setelah Windu berlalu, Afan kembali melanjutkan kesibukan sebagai bartender setelah menerima beberapa pesanan terakhirnya untuk hari ini. Saat hendak menyerahkan minuman yang sudah jadi pada pelayan, tak sengaja dia melihat seseorang yang baru saja datang. Seseorang yang tidak lagi asing.
"Si bapak itu lagi."
Seingatnya sudah dua bulan lalu om-om itu datang dalam keadaan emosi kacau. Sekarang datang lagi bersama seorang gadis yang sepertinya sudah ganti. Agaknya yang dulu itu sudah membosankan. Pasti kali ini tarifnya lebih mahal melihat penampilan yang lebih menarik.
Dasar orang kaya. Uang sepertinya menjadi benda yang sia-sia untuk disimpan.
Afan sontak menggelengkan kepalanya setelah memikirkan hal yang tidak berguna sama sekali. Dia lantas melanjutkan pekerjaannya.
"Fan Fan." Tak lama kemudian temannya yang seorang pelayan datang.
"Apa?"
"Air putih dua."
"Buat siapa?"
"Itu bapaknya sama si mbak yang baru datang."
"Lah? Kok, cuma air putih?"
"Ya gak tahu, mesennya itu doang. Terus yang dingin."
Dia kembali mengalihkan perhatian pada si laki-laki yang kali ini lebih memilih menempatkan diri di meja pengunjung daripada di meja bartender. Cukup heran, tumben sekali hanya memesan air putih. Biasanya minuman mahal yang dipesan.
Beberapa saat terdiam, si om itu tiba-tiba mengalihkan atensi padanya. Terkejut karena ketahuan mengawasi, Afan lalu memalingkan pandangan dan bergegas mendekati lemari pendingin untuk mengambil dua botol air mineral.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Tanpa Nakhoda | Selesai
General FictionMengemudikan kapal ternyata sangat susah, jika tidak ada nakhoda. *** Berawal dari sebuah tragedi kecelakaan, Sara harus berpisah dengan laki-laki yang dia cintai. Memori indah yang telah lama diukir bersama, hilang dalam sekejap lalu digantikan den...